TELEVISI biasa (biasanya berbentuk tabung), televisi konvensional, atau nama gaulnya TV analog, resmi “dibunuh” paksa (analog swicth off) di Jawa Tengah pada awal Desembar lalu, setelah sebelumnya di beberapa daerah lain dan akan menyusul beberapa daerah lain juga. Tragisnya, peristiwa itu tepat dengan momentum Piala Dunia 2022 di Qatar yang sedang seru-serunya. Akibatnya, riuh rendah suara tetangga di sekitar cukup mengganggu jagat kita.
Di dunia nyata dan maya, orang-orang sibuk membicarakan STB alias Set Top Box. Kotak ajaib kecil yang dapat merubah status televisi analog (ATV) menjadi televisi yang dapat menerima sinyal digital (HDTV) setelah didukung perangkat penerima DVB T2. Namun sebenarnya pangkat dan golongannya tetap sama, bahwa televisi-nya masih berbentuk tabung atau menimal belum flat seutuhnya. Hanya bergeser dan “naik pangkat” dari aspek kualitas gambar yang konon lebih jernih dan audio yang lebih bening di telinga.
Digitalisasi televisi, barangkali menjadi sinyal perkembangan teknologi penyiaran mutakhir di Indonesia, meski sebenarnya teknologi televisi digital sudah lebih cukup lama muncul di Amerika Serikat, tepatnya di tahun 1990 an. Di Asia sendiri, tepatnya di Jepang pada tahun 1996 lahir ISTV (integrated service television).
Dalam catatan Abrar (2003), yang professor Komunikasi UGM itu, teknologi itu bukan hanya mampu menerima siaran digital, bahkan sudah mampu berkoneksi dengan internet. Lebih dari satu dekade kemudian, perbicangan tentang kebijakan baru dibicarakan di Indonesia, dan satu setengah dasawarsa baru dilakukan. Padahal jauh sebelumnya, Kominfo sudah merencanakan mengoperasikan siaran digital pada 2018.
Proses yang cukup panjang itu, di antaranya tentu salah satunya berkait dengan infrastruktur penyiaran dan antena penerima (receiver). Salah satu urusan “kecil” itu ya yang tadi kita singgung dan sudah viral di mana-mana, STB namanya. Nama yang mudah dalam penyebutan, sulit untuk mendapatkan, dan tentu lebih sulit lagi mengoperasikannya. Kata orang-orang, tidak seperti kata Agnes Monica.
Editor : Muhammad Andi Setiawan