get app
inews
Aa Text
Read Next : Sahabat Cristiano Ronaldo Doakan Messi Menangis di Final Piala Dunia Terakhirnya

Men“Digital”Kan Pemirsa Analog

Sabtu, 17 Desember 2022 | 10:24 WIB
header img
Muhamad Fahrudin Yusuf, Dosen KPI UIN Salatiga yang awam hukum dan Pengurus Lakpesdam NU Salatiga (Foto : ist)

TELEVISI biasa (biasanya berbentuk tabung), televisi konvensional, atau nama gaulnya TV analog, resmi “dibunuh” paksa (analog swicth off) di Jawa Tengah pada awal Desembar lalu, setelah sebelumnya di beberapa daerah lain dan akan menyusul beberapa daerah lain juga. Tragisnya, peristiwa itu tepat dengan momentum Piala Dunia 2022 di Qatar yang sedang seru-serunya. Akibatnya, riuh rendah suara tetangga di sekitar cukup mengganggu jagat kita.

Di dunia nyata dan maya, orang-orang sibuk membicarakan STB alias Set Top Box. Kotak ajaib kecil yang dapat merubah status televisi analog (ATV) menjadi televisi yang dapat menerima sinyal digital (HDTV) setelah didukung perangkat penerima DVB T2. Namun sebenarnya pangkat dan golongannya tetap sama, bahwa televisi-nya masih berbentuk tabung atau menimal belum flat seutuhnya. Hanya bergeser dan “naik pangkat” dari aspek kualitas gambar yang konon lebih jernih dan audio yang lebih bening di telinga.

Digitalisasi televisi, barangkali menjadi sinyal perkembangan teknologi penyiaran mutakhir di Indonesia, meski sebenarnya teknologi televisi digital sudah lebih cukup lama muncul di Amerika Serikat, tepatnya di tahun 1990 an. Di Asia sendiri, tepatnya di Jepang pada tahun 1996 lahir ISTV (integrated service television).

Dalam catatan Abrar (2003), yang professor Komunikasi UGM itu, teknologi itu bukan hanya mampu menerima siaran digital, bahkan sudah mampu berkoneksi dengan internet. Lebih dari satu dekade kemudian, perbicangan tentang kebijakan baru dibicarakan di Indonesia, dan satu setengah dasawarsa baru dilakukan. Padahal jauh sebelumnya, Kominfo sudah merencanakan mengoperasikan siaran digital pada 2018.

Proses yang cukup panjang itu, di antaranya tentu salah satunya berkait dengan infrastruktur penyiaran dan antena penerima (receiver). Salah satu urusan “kecil” itu ya yang tadi kita singgung dan sudah viral di mana-mana, STB namanya. Nama yang mudah dalam penyebutan, sulit untuk mendapatkan, dan tentu lebih sulit lagi mengoperasikannya. Kata orang-orang, tidak seperti kata Agnes Monica.

Nicholas Negroponte, profesor teknologi media dari Massachusetts Institute of Technology (MIT), Amerika Serikat, pada tahun 1996 menulis buku berjudul being digital dan bercerita ihwal bit dan televisi digital di Amerika. Bit sendiri, katanya, adalah unsur atomik terkecil dalam DNA informasi. Untuk mempermudah biasanya disimbolkan dengan 1 dan 0 dalam digitalisasi suara dan gambar, dan kita tentu tidak akan membahasnya lebih jauh, karena bukan ahlinya.

Menurutnya, alasan utama lahirnya televisi digital adalah kemampuan koreksi kesalahan (error correction) dan pemampatan (compression) atau kompresi data. Kejernihan siaran televisi kita terima dari siaran digital adalah anugerah dari keduanya, meski biaya trasmisinya mahal.

Masih menurut Prof. Nicholas Negroponte, televisi mungkin anggota keluarga kita yang paling bodoh, bahkan lebih bodoh dari alat pemanggang microwave. Alasannya, televisi sekali lagi tetap merupakan media satu arah (one to many). Tidak seperti umumnya media atau aplikasi berbasis internet (many to many).

Pemancar televisi menentukan segalanya dan pemirsa hanya bisa menerima tanpa mampu protes. Dia sendiri yang memproduksi, mengedit, menyiarkan, namun tidak bisa menerima feed back dari pemirsa. Segala bentuk respon, baik keluhan jika ada gangguan sinyal, siaran yang tidak mendidik, apalagi menyetop dan meng-edit siaran dilakukan oleh mereka sendiri tanpa campur tangan audiens.

Orang-orang yang riuh rendah itu adalah pemirsa generasi analog yang hanya akan dan sedang mendapat bonus ketajaman gambar, audio lebih jernih dari migrasi format penyiaran analog ke digital, sementara kontennya tidak pernah berubah.

Mereka adalah generasi analog, generasi yang lahir paling cepat di tahun 1980 an dan seterusnya. Entah mereka masuk di generasi X atau bukan, yang jelas tidak diterima di generasi Y dan Z yang masih asyik nonton drakor (drama korea) dengan gadgetnya, tidak peduli dengan apa itu STB, dan migrasi analog ke televisi digital.

Bagi pemirsa dari generasi analog, peningkatan manfaat dari migrasi itu ada pada kualitas gambar dan suara. Bagi pemilik stasiun televisi, apalagi grup, space periklanan semakin luas. Sebab satu spektrum frekuensi radio dalam format analog, konon dapat diisi dengan 12 channel televisi atau lazim disebut multiplexing (MUX). Pada akhirnya pemirsa yang mungkin akan semakin menuju kepunahan, semakin diterpa iklan di manapun dia memilih channel yang semakin melimpah.

Piala Dunia menuju senjakala, dua tim terbaik dan terberuntung tersisa. Pasca Pildun (kata generasi digital), masihkan Bapak, Pakdhe, Paklik, dan Lik Karyo, bakul cilok yang mangkal di perempatan kampung itu, rebutan STB dan muter2 antena ke sana ke mari? Oh ya, ada nggak ya, yang cari stasiun TV siaran Islam yang moderat?

Wallahu a’lam bi al shawab.

oleh : ​​​​​​​Muhamad Fahrudin Yusuf

Dosen KPI UIN Salatiga, Pengurus Lakpesdam PCNU Kota Salatiga

 

Editor : Muhammad Andi Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut