JAKARTA,iNews.id - adanya larangan mengekspor Crude Palm Oil (CPO) atau minyak nabati mentah dari kelapa sawit, beserta minyak goreng. Anggota Komisi VI DPR Deddy Yevri Hanteru Sitorus meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan jajarannya mengevaluasi kebijakan moratorium tersebut.
Menurutnya, kebijakan tersebut bisa merugikan petani kecil dan mendorong lonjakan harga, termasuk produk turunan seperti minyak goreng .
Menurut Anggota Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) ini, keputusan pemerintah melakukan moratorium ekspor CPO dan minyak goreng tepat jika dilakukan dalam jangka waktu pendek. Hal itu bisa dipahami sebagai langkah untuk memastikan melimpahnya pasokan di dalam negeri dan turunnya harga di tingkat domestik.
"Tetapi ini bisa merusak industri CPO secara keseluruhan, industri minyak goreng juga, dan ini merugikan petani-petani kecil yang ada di pedalaman. Terutama petani sawit kecil, pemilik lahan sawit sedang dan pemilik kebun sawit yang tidak memiliki pabrik pengolahan CPO, refinery atau pabrik minyak goreng. Perlu diingat bahwa sekitar 41% pelaku industri sawit adalah rakyat kecil. Jadi ini menyangkut jutaan orang dan mereka yang pertama akan menderita akibat kebijakan tersebut," kata Deddy Yevri dalam keterangannya, Jumat (22/4/2022).
Sebagai Anggota DPR dari dapil Kalimantan Utara, Deddy sedang melakukan reses. Turun ke dapilnya dan bertemu dengan warga masyarakat yang sebagian adalah petani kecil kelapa sawit, Deddy mengaku mendapatkan masukan dari warga masyarakat.
"Buah sawit itu tidak bisa disimpan lama, begitu dipanen harus segera diangkut ke pabrik kelapa sawit. Jika tidak, buahnya akan busuk. Akibatnya rakyat menanggung kerugian dan kehilangan pemasukan. Pemilik Pabrik kelapa sawit juga tidak bisa menampung CPO olahan dalam waktu lama. Sebab kualitasnya akan menurun dan tempat penyimpanan atau storage pun terbatas dan menambah biaya. Akibatnya, mereka akan menolak buah sawit milik petani dan tentu saja petani akan menjerit," urai Deddy.
Deddy menilai, Pemerintah seharusnya tahu bahwa moratorium hanya akan menguntungkan pemain besar. Khususnya mereka yang punya pabrik kelapa sawit sendiri, fasilitas refinery, pabrik minyak goreng, atau industri turunan lainnya. Mereka juga memiliki modal kuat, memiliki kapasitas penyimpanan besar, dan pilihan-pilihan lain untuk menghindari kerugian.
Dan jika ekspor itu dilarang, industri dalam negeri juga tidak akan mampu menyerap seluruh hasil produksi. Sebab kebutuhan minyak goreng yang bermasalah itu hanya sekitar 10 persen atau sekitar 5,7 juta ton pertahun dibanding total produksi yang mencapai 47 juta ton pertahun untuk CPO.
Dan sekitar 4,5 juta ton pertahun untuk Palm Kernell Oil (PKO) Menurut pria kelahiran Pematang Siantar, Sumatera Utara tersebut, jauh lebih positif jika langkah pertama yang dilakukan Pemerintah adalah mengembalikan kebijakan Domestic Price Obligation (DPO) dan Domestic Market Obligation (DMO).
Dengan DMO, maka eksportir CPO wajib mengalokasikan 20 persen ekspornya ke dalam negeri dengan harga CPO yang ditetapkan Pemerintah. Selain itu, Pemerintah bisa menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
Selanjutnya, Pemerintah harus memastikan barangnya tersedia dan diawasi dengan baik. Pengawasan diperkuat dengan memastikan sinergi kementerian dan lembaga, serta pemerintah daerah.
Bila pengawasan berjalan dengan baik, kegiatan penyeludupan dan penimbunan dapat dicegah.
"Tanpa sinergi yang antara kegiatan pengawasan, pencegahan dan penegakan hukum, masalah kelangkaan dan harga produk yang tinggi tidak akan pernah bisa selesai.
Ingat, moratoriun itu akan memicu kegiatan penyeludupan sebab barang akan langka dan harganya melonjak di luar negeri," jelas Deddy "Kalau perlu dikuasai oleh Negara, termasuk distribusinya," imbuh Deddy. Artinya, kata Deddy, Pemerintah bisa membuat regulasi yang ketat, pengawasan yang intens, dan melakukan digitalisasi yang terkoneksi dari hulu ke hilir.
Pemerintah juga harus menyiapkan rencana penyimpanan cadangan nasional, menugaskan BUMN atau distributor terverifikasi untuk memperbaiki rantai distribusi. Menurut Deddy, jika kebijakan moratorium ekspor itu dilakukan berlama-lama, maka akan menyebabkan barang menjadi langka. Jika sudah demikian, maka semua akan rugi. Sebab harga dunia menjadi melonjak habis-habisan.
Harus diingat, kata Deddy, terbuka kemungkinan protes dari negara-negara lain yang membutuhkan CPO dan turunannya saat krisis minyak nabati dan energi global yang belum usai. Bukan tidak mungkin pemerintah harus menghadapi tekanan perdagangan internasional sebab CPO dan turunannya saat ini sudah menjadi komoditas global yang penting.
"Moaratorium ini bisa menjadikan konsekuensi terjadinya keberatan dari negara-negara lain. Karena barang ini adalah komoditas global. Jadi mohon diperhatikan Bapak Presiden, mohon kembalikan kebijakannya ke jalur yang benar," pungkas Deddy Yevri.
Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk melarang ekspor bahan baku minyak goreng atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng mulai Kamis (28/4/2022). Jokowi menjelaskan larangan ekspor minyak goreng dan CPO ini dilakukan untuk mengantisipasi harga minyak goreng yang melambung tinggi akibat adanya kelangkaan pasokan minyak goreng di tengah-tengah masyarakat.
"Agar ketersediaan minyak goreng di dalam negeri melimpah dengan harga terjangkau,” kata Jokowi saat memberikan keterangan pers yang disiarkan melalui akun YouTube Sekretariat Presiden, Jumat (22/4/2022).
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Jum'at, 22 April 2022 - 21:15 WIB oleh Abdul Malik Mubarok dengan judul "Politikus PDIP Minta Jokowi Tinjau Ulang Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://nasional.sindonews.com/read/751379/12/politikus-pdip-minta-jokowi-tinjau-ulang-larangan-ekspor-cpo-dan-minyak-goreng-1650636287?showpage=all
Editor : Muhammad Andi Setiawan