Sehingga soal berapa total kuota dan kapan pemberangkatan furoda ini, seringkali tidak jelas. Termasuk dalam penerbitan visa, kapan bisa keluar selalu jadi misteri.
Bahkan seorang pejabat di Kemenag mengaku, keberangkatannya ke Saudi pekan lalu harus gagal gara-gara pesawat Garuda Indonesia rute Jakarta-Jeddah tiba-tiba membatalkan penerbangannya. Usut punya usut, pesawat terpaksa tak terbang karena ada ratusan tiket yang mendadak batal.
Tiket-tiket itu sebelumnya dipesan sejumlah travel yang akan memberangkatkan jamaah furoda. Pihak travel pusing tujuh keliling lantaran hingga hari keberangkataan, visa jamaah tak kunjung juga terbit dari Saudi. Meski harus rugi, namun pembatalan tiket adalah pilihan terbaik.
Jauh-jauh hari, travel furoda pun harus nekat memesan banyak tiket. Mereka rela berebut. Mereka tak ingin reputasi hancur. Misal gara-gara akhirnya ada visa, namun pada hari H berangkat, ternyata tak bisa terbang. Pikir mereka, tentu lebih baik pesan dulu tiket karena akan lebih aman. Tampak gambling. Tapi itulah fakta di balik penyelenggaraan haji furoda.
Di tengah situasi itu, tentu jamaah sebenarnya dihadapkan situasi ketidakpastian. Termasuk yang terjadi hari-hari ini. Ratusan atau bahkan ribuan jamaah haji furoda tengah menunggu dalam kondisi tak menentu. Banyak di antara mereka sudah lama berada di Jakarta menunggu visa terbit dan bertolak ke Saudi dari Bandara Soekarno-Hatta. Data kemarin, masih ada 1.400 calon jamaah yang menungu penerbitan visa furoda ini. Meski closing date berbeda dengan jamaah reguler, namun tetap tidak tenang.
Tentu menunggu haji seperti ini pun penuh dengan rasa dag dig dug. Situasi tak nyaman makin makin terasa karena umumnya pemegang kuota furoda ini bukan sembarang orang. Mereka banyak dari pejabat, tokoh masyarakat atau pengusaha. Ongkos naik haji mereka pun terbilang fantastis. Tidak diketahui pastinya. Namun dari informasi yang beredar, angkanya berkisar Rp250 juta hingga Rp400 juta per orang. Dari sisi uang, mereka bisa jadi tak jadi masalah besar. Sebab harapannya bisa berhaji tanpa harus antre puluhan tahun seperti reguler.
Editor : Muhammad Andi Setiawan