PUNCAK haji tinggal sepekan lagi. Jamaah haji jalur reguler pun tinggal sedikit yang masih tersisa. Semua jamaah dijadwalkan harus terangkut ke Tanah Suci maksimal hari ini Minggu (3/7), adalah batas akhir penutupan (closing date) penerbangan haji.
Setelah itu, Arab Saudi akan menutup rapat jamaah masuk ke Mekkah. Sekali terlambat, maka impian berhaji bisa melayang.
Namun, meski ritual puncak seolah tinggal hitungan jam lagi, banyak jamaah haji Indonesia yang belum berhasil masuk ke Saudi. Tentu mereka bukan dari jamaah haji reguler yang sejak awal ditarget harus terbang maksimal besok itu. Mereka adalah jamaah haji furoda berbekal visa mujamalah atau sebagian menyebutnya dengan haji plus-plus.
Kenapa disebut plus-plus. Ya, haji furoda sangat berbeda dengan reguler. Jika reguler, kuotanya jauh-jauh hari sudah ditentukan oleh Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi. Sehingga secara otomatis akan tersistem di e-Hajj dan lain sebagainya. Haji furoda juga bukanlah haji plus biasa. Sebab jika plus biasa, kuotanya jelas sudah tersistem di e-Hajj Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi. Reguler dan khusus ini pun otomatis tersambung dengan sistem di Kementerian Agama (Kemenag). Karena alasan itulah, untuk menangani jamaah haji khusus ini Kemenag memiliki bidang tersendiri yakni Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Sedang haji furoda berbeda. Kuota mereka bukan diterbitkan oleh Kementerian Haji dan Umrah Arab Saudi. Umumnya, kuota ini dikeluarkan dari kedutaan besar. Golongan dari furoda ini beragam. Dari yang memang sangat resmi seperti undangan Raja Saudi, mitra atau kolega kedutaan hingga masyarakat biasa pun bisa mendapatkan visa ini.
Karena bukan tersistem sejak dini, kuota ini pun umumnya datang mendadak.
Sehingga soal berapa total kuota dan kapan pemberangkatan furoda ini, seringkali tidak jelas. Termasuk dalam penerbitan visa, kapan bisa keluar selalu jadi misteri.
Bahkan seorang pejabat di Kemenag mengaku, keberangkatannya ke Saudi pekan lalu harus gagal gara-gara pesawat Garuda Indonesia rute Jakarta-Jeddah tiba-tiba membatalkan penerbangannya. Usut punya usut, pesawat terpaksa tak terbang karena ada ratusan tiket yang mendadak batal.
Tiket-tiket itu sebelumnya dipesan sejumlah travel yang akan memberangkatkan jamaah furoda. Pihak travel pusing tujuh keliling lantaran hingga hari keberangkataan, visa jamaah tak kunjung juga terbit dari Saudi. Meski harus rugi, namun pembatalan tiket adalah pilihan terbaik.
Jauh-jauh hari, travel furoda pun harus nekat memesan banyak tiket. Mereka rela berebut. Mereka tak ingin reputasi hancur. Misal gara-gara akhirnya ada visa, namun pada hari H berangkat, ternyata tak bisa terbang. Pikir mereka, tentu lebih baik pesan dulu tiket karena akan lebih aman. Tampak gambling. Tapi itulah fakta di balik penyelenggaraan haji furoda.
Di tengah situasi itu, tentu jamaah sebenarnya dihadapkan situasi ketidakpastian. Termasuk yang terjadi hari-hari ini. Ratusan atau bahkan ribuan jamaah haji furoda tengah menunggu dalam kondisi tak menentu. Banyak di antara mereka sudah lama berada di Jakarta menunggu visa terbit dan bertolak ke Saudi dari Bandara Soekarno-Hatta. Data kemarin, masih ada 1.400 calon jamaah yang menungu penerbitan visa furoda ini. Meski closing date berbeda dengan jamaah reguler, namun tetap tidak tenang.
Tentu menunggu haji seperti ini pun penuh dengan rasa dag dig dug. Situasi tak nyaman makin makin terasa karena umumnya pemegang kuota furoda ini bukan sembarang orang. Mereka banyak dari pejabat, tokoh masyarakat atau pengusaha. Ongkos naik haji mereka pun terbilang fantastis. Tidak diketahui pastinya. Namun dari informasi yang beredar, angkanya berkisar Rp250 juta hingga Rp400 juta per orang. Dari sisi uang, mereka bisa jadi tak jadi masalah besar. Sebab harapannya bisa berhaji tanpa harus antre puluhan tahun seperti reguler.
Selain dag dig dug menunggu kapan harus berangkat, sejatinya mereka belum sepenuhnya tenang meski sudah mendarat di Saudi. Ini terjadi lantaran bisnis menggiurkan ini sering dimanfaatkan travel nakal. Operandinya, travel menawarkan dan menjanjikan berbagai fasilitas ‘wah’ saat di Saudi. Namun setelah uang didapat, mereka sebatas menebar janji kosong. Terlunta-lunta dan keleleran pun menjadi hal biasa dialami jamaah furoda di setiap musim haji.
Ini pula yang terjadi kemarin. Pagi-pagi hari saat bangun tidur, ada seorang teman KORAN SINDO melaporkan koleganya yang menjadi haji furoda tengah keleleran berjam-jam di Bandara Internasional King Abdul Azis, Jeddah. Tak seorang diri, koleganya itu berangkat bersama puluhan jamaah. Mereka jelas bingung karena tak kunjung ada travel atau pihak yang menjemputnya. Untuk meyakinkan mereka bagian jamaah, sang kolega turut mengirimkan foto yang berisi puluhan visa dan tiket pulang pergi maskapai.
KORAN SINDO pun segera membantu mengomunikasikan hal ini ke Kepala Seksi PIHK Daerah Kerja Bandara Zaenal Arifin. Setelah dicek dokumen jamaah, diduga kuat mereka menjadi korban visa palsu atau bodong. Deportasi ke Tanah Air pun menjadi mimpi buruk mereka. Ya, meski mereka sudah mengeluarkan uang ratusan juta, bukan berarti mendapat layanan bak raja. Sebaliknya, jamaah reguler yang ditangani Kemenag, setiba di bandara, mereka tak henti mendapat sambutan ramah dari ratusan petugas dan berbagai fasilitas nan memanjakan.
Haji furoda dengan segala keistimewaannya faktanya belum sepenuhnya menghadirkan kepastian dan jaminan pelayanan kepada jamaah. Malah, jamaah yang mestinya ingin khusyuk beribadah justru kadang dihadapkan situasi yang terpuruk.
Di sisi lain, untuk membentengi praktik yang merugikan masyarakat ini, Undang-Undang No 8/2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah telah menegaskan bahwa jamaah yang berangkat dengan visa furoda ini harus melalui jalur resmi, yakni PIHK.
Namun meski mereka terdaftar resmi, faktanya, tak sedikit PIHK yang kucing-kucingan melakukan pelanggaran. Bahkan ada yang bermain dengan menjual visa palsu seperti kunjungan (ziyarah) dan kerja (ummal). Tentu masyarakat sangat dirugikan.
Penyelenggaraan haji furoda yang tampak acakadut inipun saatnya ditata agar jamaah mendapat pembinaan, pelayanan sekaligus perlindungan sebagaimana amanat UU No 8/2019. Meski seolah sulit tersentuh seperti soal kuota/visa yang otoritatif dari Kerajaan Arab Saudi, namun selalu ada ruang untuk dikomunikasikan. Lebih-lebih, Saudi hari ini tengah membangun peradaban baru dunia yang makin terbuka.
Editor : Muhammad Andi Setiawan