Nama-mu adalah dirimu?
Apakah nama (al-ismu) adalah wujud dari yang di-namai itu sendiri (‘ainul musamma)? Kalimat tanya itu menjadi perdebatan serius di kalangan ulama ilmu teologi (ilmu kalam) beraliran ahlussunnah, ketika memperdebatkan sifat wujud Allah, Sang Pencipta. Riwayat itu termaktub pada kitab Hasyiyah Sanusiyyah, karya ulama besar Maroko, Imam al-Sanusi (1490 M).
Jujur saja, saya tidak akan ikut-ikut an berdebat tentang hakikat ketuhanan terkait dengan asma Allah itu. Di samping saya bukan ulama ahli ilmu kalam, saya hanya takut, ya takut saja, tidak pakai alasan lain.
Saya hanya akan mengajak pembaca untuk tertegun sejenak berfikir, nama yang dipilih oleh orang tua kita yang kita yakini baik, apakah itu kita sendiri?
Bebarapa waktu yang lalu, saya mendapati seorang anak, dan bahkan sudah dewasa dan baru saja menikah, menyalahkan orang tuanya karena namanya tidak benar menurut bahasa, tepatnya bahasa Arab. Hanya karena alasan umumnya tidak seperti itu, dia berani menyalahkan orang tuanya. Padahal secara arti bahasa, nama itu sudah tepat, dan bahkan secara laten mengandung doa agar si anak menjadi anak yang mampu cahaya yang menyala, menyinari apapun yang ada di sekelilingnya. Bukan malah hanya bermakna “satu cahaya” saja.
Cerita ini sengaja saya kaburkan, agar tidak mengena kepada pihak dan sesiapapun.
Proses pemilihan nama itu sakral. Secara simbolik, pemilihan nama bahkan dimulai dari sebelum menikah oleh sebagian orang. Setelah benar-benar menikah dan melahirkan, proses pemilihan dan penyematannya dilalui dengan ritual pemotongan rambut, didahului dengan pemotongan kambing. Proses ini dalam bahasa agama disebut akikah.
Semua proses itu, di luar bahwa semua tindakan itu perilaku religious (sunnah), juga alasan kesadaran bahwa nama yang dipilih itu adalah doa dan nubuat. Selain itu pemilihan nama yang baik adalah mempersiapkan panggilan kita kelak di hadapan Allah pada saat pengadilan hari kiamat.
Editor : Muhammad Andi Setiawan