get app
inews
Aa Text
Read Next : Muslimat NU Kota Salatiga Peringati Harlah ke-78 di Student Center UIN Salatiga

(Apa) Arti Sebuah Nama : Menamai UIN yang Ada di Kota Salatiga

Senin, 21 Februari 2022 | 07:51 WIB
header img
Anggota masyarakat Kota Salatiga, Muhamad Fahrudin Yusuf, ( Foto/Dok)

Bu Pun Su (tak bernama) adalah seorang pendekar silat tanpa tanding yang berasal dari daratan Tiongkok. Jagoan bernama kecil Lu Kwan Cu itu pada mulanya hanyalah seorang anak yatim piatu yang ditemukan di salah satu perairan Laut Cina oleh salah satu datuk di dunia persilatan bernama Ang Bin Sinkai (Pengemis Sakti Muka Merah). Si Pengemis sakti melihat bakat silat pada susunan tulang si anak. Ia mengasuh dan merawatnya sampai dewasa dan menjadikannya pemuda sakti yang susah dicari tandingannya di masa itu.

Dalam pengembaraannya di dunia persilatan, Lu Kwan Cu menemukan kitab rahasia persilatan di sebuah pulau kosong, kitab rahasia itulah yang membuatnya mampu menguasai berbagai macam aliran ilmu silat dan rahasianya dengan sempurna. Mulai aliran Siaw lim (Sholin), Bu Tong (Wu Tang), Kun lun, dan semua aliran lainya dapat ia kuasai rahasianya.

Tiada musuh seberapapun saktinya yang tidak bisa ia kalahkan. Hingga suatu hari dia bertemu dengan seorang menteri bijak di jaman sebuah dinasti di Tiongkok bernama Lu Pin, yang di kemudian hari, diketahui sebagai pamannya sendiri.

Paman menteri inilah yang kemudian memberinya julukan Bu Pun Su (tak bernama) agar si Pendekar tidak silau dengan nama, julukan, gelar dan stempel artifisial lainnya.

Kisah fiksi di atas merupakan penggalan singkat dari berpuluh-puluh jilid cerita silat gubahan Asmaran Soekowati Kho Ping Ho, atau lebih dikenal dengan nama belakangnya saja berjudul Pendekar Sakti.

Kisah itu juga memberi pelajaran bahwa semakin seseorang berada pada kemampuan paripurna, semakin dia tidak membutuhkan nama untuk dikenal dan sebutkan. Meski pada akhirnya si pendekar tetap saja terkenal dengan julukan Bu Pun Su.

Pertanyaanya, apakah nama itu penting, kapan dan di mana nama itu penting?

Kata orang-orang, nama hanyalah simbol, tetenger, tanda dan ujaran serupa yang akrab kita dengar. Bila nama adalah simbol, nama hanya lah tanda yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan yang dinamai. Bila itu tetenger, dia hanya berfungsi untuk membedakan bentuk dan jenis manusia, dengan sesamanya. Bila itu lainnya, maka fungsinya tidak lebih dari dua fungsi di muka.

Pada akhirnya adagium “apa arti sebuah nama”, menemukan kebenarannya juga. Namun apakah hanya segitu saja, untuk memutuskan bahwa nama menjadi tidak penting?

Nama-mu Menciptakan Diri-mu?

Kata Kang Dedi Mulyana, salah satu ahli komunikasi di Indonesia, nama dapat berfungsi secara sosial. Artinya nama dapat membentuk konsep diri seseorang. Oleh karenanya, nama adalah nubuat yang dipenuhinya sendiri (self-fulfilling propechy).

Seorang anak bernama Muhammad misalnya, akan dikonsepsikan sebagai anak yang terpuji tutur dan tindakannya. Dia akan malu kalau menjadi anak nakal. Lingkungannya akan berusaha membantu mengkonsepsi diri si anak agar menjadi anak yang sholeh, meski dengan sekedar bully-an. Bahkan konon kata ahli fikih, haram menyebut namanya ketika dia sedang berbuat jahat, karena hal itu sama saja menuduh baginda kita, Muhammad Saw., berbuat jahat. Meski saya juga tidak tahu ihwal komedian Bolot yang konon juga bernama asli Muhammad.

Di era sekarang, nama dengan segala turunannya (gelar) juga cerminan eksistensi diri. Jamak diketahui pula, pernyataan eksistensi diri merupakan kelanjutan dari pembentukan konsep diri di muka. Bila Rene Descartes (1650) mengatakan: Cogito Ergo Sum (Saya berpikir maka saya ada), barangkali kalimat itu lebih relevan diganti “Saya update status, maka saya ada”. “saya menulis maka saya ada”, “saya selfi maka saya ada”, dan “saya,… maka…”, lainnya.

Melalui kata, grafis, meme, video pendek dan segala macam medium lainya, seseorang ingin dikenal, dikonsepsikan dan dibayangkan sebagai orang yang ia inginkan sendiri.

Ingat, bahwa ia menubuat dirinya sendiri ya...

 

Nama-mu adalah dirimu?

Apakah nama (al-ismu) adalah wujud dari yang di-namai itu sendiri (‘ainul musamma)? Kalimat tanya itu menjadi perdebatan serius di kalangan ulama ilmu teologi (ilmu kalam) beraliran ahlussunnah, ketika memperdebatkan sifat wujud Allah, Sang Pencipta. Riwayat itu termaktub pada kitab Hasyiyah Sanusiyyah, karya ulama besar Maroko, Imam al-Sanusi (1490 M).

Jujur saja, saya tidak akan ikut-ikut an berdebat tentang hakikat ketuhanan terkait dengan asma Allah itu. Di samping saya bukan ulama ahli ilmu kalam, saya hanya takut, ya takut saja, tidak pakai alasan lain.

Saya hanya akan mengajak pembaca untuk tertegun sejenak berfikir, nama yang dipilih oleh orang tua kita yang kita yakini baik, apakah itu kita sendiri?

Bebarapa waktu yang lalu, saya mendapati seorang anak, dan bahkan sudah dewasa dan baru saja menikah, menyalahkan orang tuanya karena namanya tidak benar menurut bahasa, tepatnya bahasa Arab. Hanya karena alasan umumnya tidak seperti itu, dia berani menyalahkan orang tuanya. Padahal secara arti bahasa, nama itu sudah tepat, dan bahkan secara laten mengandung doa agar si anak menjadi anak yang mampu cahaya yang menyala, menyinari apapun yang ada di sekelilingnya. Bukan malah hanya bermakna “satu cahaya” saja.

Cerita ini sengaja saya kaburkan, agar tidak mengena kepada pihak dan sesiapapun.

Proses pemilihan nama itu sakral. Secara simbolik, pemilihan nama bahkan dimulai dari sebelum menikah oleh sebagian orang. Setelah benar-benar menikah dan melahirkan, proses pemilihan dan penyematannya dilalui dengan ritual pemotongan rambut, didahului dengan pemotongan kambing. Proses ini dalam bahasa agama disebut akikah.

Semua proses itu, di luar bahwa semua tindakan itu perilaku religious (sunnah), juga alasan kesadaran bahwa nama yang dipilih itu adalah doa dan nubuat. Selain itu pemilihan nama yang baik adalah mempersiapkan panggilan kita kelak di hadapan Allah pada saat pengadilan hari kiamat.

 

UIN kita namanya apa?

Diskusi kita berakhir pada perlunya memberi nama pada sebuah lembaga pendidikan tinggi, idaman masyarakat muslim di Salatiga, yaitu Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga, yang akan bermetamorfosa menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga. Konon, aturan itu akan segera terbit berbentuk Perpres.

Momen itu tentu sangat kita tunggu kehadirannya. Sambil kita menunggu, kok ada baiknya diisi dengan diskusi tentang nama, seperti yang sedang kita perbincangkan ini.

Dari diskusi sebelumnya, nampaknya kita semua sepakat bahwa UIN kita perlu diberi nama. Selain kepentingan adminstratif, bagi saya dan kita, nama itu adalah tanda, doa dan nubuat yang akan kita ciptakan sendiri.

Dari desas-desus, rasan-rasan, koman-komen yang saya tahu, nama yang dipilih adalah UIN Salatiga, merujuk pada letak geografis perguruan tinggi itu berada.

Bagi saya, pemilihan nama itu baik saja. Namun, kepentingannya mungkin untuk mempermudah menandai, di antara UIN yang lain. Bukan sebagai doa atau nubuat yang akan kita ciptakan sendiri. Iya, hanya itu saja.

Misalnya kita harus mencoba nama itu untuk doa, dan apalagi nubuat yang akan kita ciptakan sendiri, apalagi membuatnya menjadi sampai menjadi ‘ainul musamma, akan menjadi rancu lagi lucu.

Konon, kata Salatiga berasal dari “Salah” dan “Tiga”, atau berarti tiga kesalahan. Ada pula yang mengatakan berasal dari Salah tur Tego. Keduanya merujuk pada kisah penamaan dan ucapan dari Nyi Ageng Pandanaran kepada orang yang merampoknya, yang konon terjadi di Salatiga sekarang. Ada pula yang menyebut Salatiga berasal dari Selo Tigo, atau tiga batu, merujuk pada tiga batu yang ada di Prasasti Plumpungan, yang anehnya, secara administratif baru masuk wilayah Kota Salatiga di tahun 1993-an.

Sebenarnya, mengenai pilihan nama, sudah ada tulisan sebelumnya (tertulis Khasan Aminuddin) yang memberikan alternatif nama yang bagus-bagus dan layak untuk dijadikan pilihan.

Ada nama pelaku sejarah nama Salatiga, yaitu Ki Ageng Pandanaran. Ada nama K.H Abdul Wahid, pejuang agama di Salatiga, kakek buyut K.H Hasyim Asy’ari, Pahlawan Nasional. Ada nama K.H Zubair Umar Jailani, pendiri IKIP NU, embrio IAIN Salatiga. Ada pula maha guru ulama nusantara K.H Shaleh bin Umar, atau masyhur dengan nama K.H. Shaleh Darat, guru pendiri NU K.H Hasyim Asy’ari dan pendiri Muhammadiyah K.H Ahmad Dahlan, juga Srikandi Pahlawan Wanita, R.A Kartini.

Namun mengingat pemberian nama itu sakral, ada baiknya kita mempertimbangkan banyak hal.

Sebagai masyarakat berbudaya, kita tidak akan meninggalkan sesepuh di mana UIN itu berada, mengingat nama kita itu juga pemberian orang tua, kyai atau sesepuh kita.

Sebagai masyarakat akademisi; bila madzhab kita adalah fungsionalis strukturalis, nama itu itu dipilih sesuai fungsi dan struktur yang dipunyai lembaga itu sendiri. Bila madzhab kita historis, nama pendiri layak dikedepankan. Madzhab lain silahkan ditambahkan sesuai disiplin ilmu pembaca sendiri….silahkan usul sebelum di-namai ya….

Kalau saya sendiri, nama terakhir menjadi favorit saya. Nama Shaleh Darat, selain nama itu secara admistratif, sepengatahuan saya belum pernah digunakan, nama itu melambangkan kedalaman ilmu, keberhasilan mendidik santri (kader), visioner, dan tentunya Islam yang moderat atau Islam Indonesia. Kalau Anda?????

Bila takdir sudah menulis bahwa UIN kita harus bernama UIN Salatiga, saya berharap nama belakang “Salatiga” itu bukan doa, nubuat dan harapan. Namun, nama itu hanya tetenger itu hanya sebagai bentuk penghargaan atas nama dan penanda lokasi saja.

Toh, bilapun diberi nama UIN Shaleh Darat Salatiga, pada akhirnya orang juga tetap akan menyebut UIN Salatiga juga.

Saya kira Mbah Shaleh Darat juga tidak keberatan bila namanya tidak dipakai, seperti halnya Bu Pun Su tetap dikenal sebagai “tak bernama” juga amat sangat terkenal, dan saya menulis ini juga tidak sedang mencari nama.

Wallahu A’lam….

Oleh : Muhamad Fahrudin Yusuf

Editor : Muhammad Andi Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut