Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur kemasyarakatan. Namun demikian, keluarga merupakan lokus pendidikan pertama dan utama bagi anak. Sejarah hidup setiap diri manusia dibangun dan berpilar pada keluarga. Seorang anak tidaklah bertumbuh-kembang serta menerima pengetahuan begitu saja, tetapi melalui pengajaran dan bimbingan dari orang tua. Lingkungan dan karakter yang dibangun dalam sebuah keluarga memiliki peran penting bagi tumbuh-kembang seorang anak sejak bayi, balita, remaja hingga dewasa.
Dalam rangka membangun karakter yang baik tersebut dibutuhkan lingkungan keluarga yang harmonis dan dinamis, atau dalam bahasa Agama Islam disebut sakinah, mawadah wa rahmah. Hyoscyamina (2011) menyatakan, rasa nyaman, damai dan tentram dalam keluarga dapat membentuk karakter anak yang kuat.
Sebaliknya, jika keluarga dibangun atas dasar emosi tinggi, kurang perhartian, konflik melulu, bahkan menelantarkan, tentu akan jauh dari harapan ideal. Oleh karenanya, sejarah dan karakter yang dibentuk dalam keluarga akan berpengaruh bagi perkembangan watak dan karakter seorang anak.
Peran keluarga dalam kehidupan berbangsa dan beragama juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Keluarga dapat membentuk karakter seseorang dalam cara pandang tentang keagamaan dan kebangsaan. Ambil contoh misalnya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) Presiden ke-4 Republik Indonesia. Beliau adalah seorang tokoh yang memiliki komitmen kebangsaan, keagamaan dan ke-negarawan-an.
Saat prosesi pemakaman Gus Dur, Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono dalam sambutannya menyematkan predikat sebagai “Bapak Pluralisme” kepada Gus Dur. Banyak orang meyakini Gus Dur adalah waliyullah yang tidak mati meskipun jasadnya terkubur tanah (lihat, Q.S.2:154). Michel Chodekiewicz (2007) menyebut wali (aulia / kekasih Tuhan) sebagai friends of God. Sampai saat ini, makam Gus Dur tidak pernah sepi dari peziarah yang ingin ngalap berkah (tabarukan atau tawasulan).
Editor : Muhammad Andi Setiawan