Akan tetapi, selang dua tahun, tak ada kejelasan yang diperoleh Junaedi terkait kasus yang menimpa anaknya hingga akhirnya melaporkan peristiwa dugaan perkosaan itu kepada polisi 2013 lalu.
"Ketika kasus itu dalam proses penyelidikan, pihak pengurus yayasan tiba-tiba mengajak bertemu Junaedi dan memberikan uang senilai Rp430.000 untuk mengurus nota akad (pernikahan anaknya dan pelaku)," ungkap Anom.
Uang tersebut, lanjut Anom, sempat diterima Junaedi dan dipakai untuk mengurus akad pernikahan ke Kantor Urusan Agama (KUA) di Kota Bandung. Namun, pihak KUA menolak dengan alasan korban masih di bawah umur, sehingga korban dan pelaku tak bisa dinikahkan.
Singkat cerita, pihak pengurus yayasan kemudian kembali bertemu dengan Junaedi di Polres Subang. Di sana, kata Anom, diduga telah terjadi pemaksaan kepada Junaedi agar mendatangani sejumlah dokumen yang disiapkan para terduga pelaku. Merasa terdesak dan karena ketidaktahuannya, Junaedi lantas menandatangani dokumen itu. Setelah ditelisik, dokumen tersebut ternyata berisi keterangan yang menyebutkan korban lahir di tahun 1993.
Padahal, faktanya, korban lahir tahun 1997. Pemalsuan tanggal lahir korban diduga dilakukan untuk memberi kesan kepada penyidik bahwa korban sudah berusia 18 tahun dan sudah menikah, sehingga terbit surat penghentian penyidikan dari polisi atau SP3.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait