TULISAN singkat ini bisa dibilang kristalisasi hasil kegiatan sosialisasi pengawasan partisipatif yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Salatiga beberapa waktu lalu (6/10/22).
Seperti yang telah diketahui khalayak, Pemilu di Indonesia akan diselenggarakan pada tahun 2024. Tepatnya pada tanggal 14 Pebruari 2024. Bagi masyarakat awam mungkin akan mengatakan masih cukup lama (sekitar satu setengah tahun lagi), namun tahapan ke-pemilu-an telah dimulai oleh penyelenggara (baca: KPU dan Bawaslu sebagai fungsi pelaksana dan pengawasan pemilu).
Konon, hari ini penyelenggara sedang sibuk melakukan verifikasi administrasi partai politik calon peserta Pemilu 2024. Hal ini mengacu pada ketentuan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 4 tahun 2022 tentang Pendaftaran,Verifikasi dan Penetapan Partai Politik. Pemilu bukan hanya saat pencoblosan (hari H saja), namun memuat keseluruhan aspek sejak pra penyelenggaraan, saat penyelenggaraan dan pasca penyelenggaraan. Artinya, sebetulnya tahapan pemilu 2024 telah dimulai.
Pemilu bisa dimaknai sebagai sarana (wasilah) pelibatan kehendak masyarakat dalam kehidupan demokrasi di Indonesia. Masyarakat berhak untuk memilih siapa yang akan menjadi wakilnya di legislatif dan pemimpinnya di eksekutif. Pilihan tersebut akan menentukan arah masa depan bangsa. Dari sini dapat dijelaskan, masa depan bangsa bergantung pada kesuksesan pemilu.
Kadek Cahya Susila (2019) menjelaskan terdapat lima indikator kesuksesan pemilu berjalan baik; pertama, penyelenggara bersikap adil (fair); kedua, pemerintah beserta perangkat pemerintahan, mulai dari pusat sampai level terbawah bersikap netral dan independen; ketiga, peserta pemilu tidak menggunakan politik uang dalam semua tahapan; keempat, pemilu menghasilkan anggota legislatif dan eksekutif yang memiliki legitimasi kuat dan berkualitas; kelima, tingkat partisipasi pemilih yang tinggi dilandasi kesadaran, kejujuran, tanggung jawab, tanpa paksaan dan tanpa money politik.
Penulis memaknai, kelima indikator tersebut tidak dapat tertinggal salah satu. Keseluruhannya merupakan “paket komplit” yang butuh diikhtiari oleh penyelenggara dan pengawas pemilu, termasuk oleh semua elemen masyarakat. Yang perlu diingat, biaya pemilu tahun 2024 tidaklah sedikit. Anggarannya mencapai 76,6 Trilyun Rupiah yang berasal dari pajak dan retribusi uang rakyat. Karenanya, rakyat memiliki hak untuk mengawasinya.
Semakin besar partisipasi masyarakat, semakin besar pula legitimasi para wakil legislatif ataupun pemimpin eksekutif yang terpilih. Sebaliknya, jika partisipasinya rendah, maka legitimasinyapun juga akan rendah. Artinya, dalam proses pemilu dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan.
Memang benar bahwa “tulang punggung” pengawasan pemilu dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), namun pada dasarnya pengawasan partisipatif dapat dilakukan oleh seluruh elemen masyarakat. Hal ini sesuai dengan pasal 102 ayat (1) huruf d UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan, bawaslu kabupaten/kota bertugas meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu di wilayah kabupaten/kota.
Tajuddin Ulya (2022) dalam penelitiannya menemukan program pengawasan partisipatif yang dilakukan oleh Bawaslu Salatiga. Di antaranya dengan membentuk kampung anti politik uang dan kampung pengawasan. Kampung anti politik uang di tiga lokus, yakni di Kemiri kelurahan Salatiga, Kampung Ngronggo Kelurahan Kumpulrejo, dan Gamol Kecandran. Sementara kampung pengawasan di Pancuran kelurahan Kutowinangun Lor, Wiroyudan Tingkir Tengah dan di Pulutan.
Secara obyektif, program tersebut perlu mendapatkan apresiasi. Namun demikian, jumlahnya masih relatif kecil. Masing-masing hanya tiga kampung dari tiga kelurahan. Padahal, pada Pemilu 2019 di Kota Salatiga terdapat 614 TPS (tempat pemungutan suara). Menurut keterangan Abdul Rohim (komisioner KPUD Salatiga), pada Pemilu 2024 diproyeksikan jumlahnya menjadi 640 TPS. Oleh karenya, kampung anti politik uang dan kampung pengawasan secara kuantitas perlu ditingkatkan lagi.
Selain itu, harapannya pengukuhan sebagai kampung anti politik uang dan kampung pengawasan, bukan hanya pada tataran slogan ansich, tetapi benar-benar memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Harapan lainnya, masyarakat kampung tersebut menjadi penyebar virus kebaikan dalam proses pengawasan ke-pemilu-an. Para komisioner Bawaslu Salatiga perlu sering-sering memberikan support dengan turun ke kampung-kampung tersebut.
Langkah yang lain, Bawaslu Salatiga perlu membangun kerjasama dengan berbagai lembaga pendidikan, organisasi mahasiswa, dan stakeholders lainnya. Sepengetahuan penulis, Bawaslu Salatiga telah melakukan beberapa kerjasama dalam bidang pendidikan politik dengan lembaga yang lain, namun hal ini juga perlu ditingkatkan. Semakin banyak lembaga mitra, akan memberikan dampak positif bagi pengawasan partisipatif.
Akhir kata, pengawasan Pemilu di Salatiga membutuhkan kolaborasi dari tiga elemen; pertama, pengawasan dari negara yang direpresentasikan oleh Bawaslu Salatiga; kedua, dengan melibatkan kelompok masyarakat, dalam hal ini bisa lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga pendidikan, organisasi massa (ormas), media, organisasi mahasiswa dan lain sebagaianya; ketiga, pelibatan partisipasi pengawasan oleh masyarakat secara langsung. Kolaborasi yang baik dari ketiga elemen ini dapat memberikan efek positif terhadap pembangunan good governance pengawasan pemilu di Kota Salatiga.
Wallahu a’lam bi shawab.
Oleh: Dr. Muhammad Chairul Huda, M.H.
Penulis adalah akademisi UIN Salatiga & Komisi Kajian Hukum dan Perundang-undangan MUI Kota Salatiga
Editor : Muhammad Andi Setiawan