Kemudian, guru juga perlu memodifikasi PR sesuai dengan target yang ingin dicapai. PR yang diberikan guru kepada peserta didik tidak harus selalu berorientasi akademik, namun juga memiliki makna lain, baik yang tersirat maupun tersurat (sebagai bagian dari hidden curriculum).
Guru dapat juga menanamkan dan mengajarkan nilai atau karakter tertentu melalui PR tersebut. Aspek inilah yang juga cukup menarik dipraktekkan di Finlandia, negara yang dianggap terdepåan dalam bidang pendidikan, di mana PR diberikan dengan tujuan agar anak tetap menikmati proses belajar baik dari sisi akademik maupun non akademik.
Selain itu, guru dapat juga memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan sendiri target pembelajaran yang ingin dicapai berikut aktifitasnya di luar jam pelajaran (sebagai PR). Dengan model ini, peserta didik akan terdorong untuk berkreasi dan berinovasi.
Penutup
Persoalan terkait PR ini memang masih akan menjadi dilemma bagi kita karena dua sisi yang dimilikinya; positif dan negatif. Tantangan bagi kita bersama untuk mengoptimalkan sisi positif dan meminimalisir dampak negatifnya. Lebih dari itu, permasalahannya bukan ada atau tidaknya PR bagi peserta didik, tetapi bagaimana mengemas PR sehingga mampu mendorong peserta didik memiliki minat tinggi untuk belajar, sehingga belajar bukanlah aktifitas yang membuat peserta didik tertekan, sebagaimana diktum Freire (1970) dalam karyanya, the oppressed pedagogy.
Karenanya, kebijakan penghapusan PR dari dunia pendidikan kita idealnya perlu didahului dengan kajian mendalam secara komprehensif dan holistik terhadap aspek-aspek terkait, bukan semata-mata sekedar upaya “mencontoh” praktek pendidikan negara lain hanya karena berasumsi bahwa di negara tersebut tanpa PR justru mutu pendidikan (dan hasil belajar peserta didik) lebih baik. Belum tentu model dan system yang diterapkan di negara lain akan memberikan hasil yang sama baiknya saat diterapkan di negara kita. Wallaahu A’lam.
Editor : Muhammad Andi Setiawan