BARU-baru ini Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mewacanakan penghapusan Pekerjaan Rumah (PR) bagi peserta didik, sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini. Meskipun sebenarnya hal ini bukan ide baru, karena beberapa tahun lalu pernah dilontarkan, tetap saja wacana ini cukup menggelitik karena dalam pendidikan kita PR memang sudah menjadi praktek yang berlangsung selama puluhan tahun.
Tulisan ini bermaksud memberikan perspektif tentang peran dan posisi PR dalam pendidikan kita, serta upaya mengoptimalkannya dalam praktek pendidikan kita.
Kompleksitas PR di Indonesia
Kita perlu memposisikan PR sebagai satu hal yang terkait dengan banyak aspek lain dalam pendidikan kita, bukan sebuah entitas tunggal, yang berdiri sendiri dan terpisah, sehingga seolah dapat dengan mudah dihapus begitu saja.
Pertama, adanya ujian nasional dan ujian kenaikan kelas. Diakui atau tidak, inilah yang selama ini menjadi momok bagi guru dan peserta didik. Guru dituntut untuk menyelesaikan materi pembelajaran (dan nilainya “diharuskan” tinggi) dalam waktu yang ditentukan.
Agar sukses ujian, seluruh materi pelajaran harus sudah disampaikan kepada peserta didik. Pemberian PR oleh guru, baik yang dimaksudkan sebagai pengayaan maupun latihan soal, menjadi strategi yang tidak terhindarkan dengan harapan sebelum ujian dilaksanakan seluruh materi sedapat mungkin dikuasai oleh peserta didik dan nilai ujiannya baik.
Kedua, jumlah mata pelajaran yang terlalu banyak. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah mata pelajaran sekolah terbanyak, terutama untuk jenjang pendidikan dasar. Hal ini mengakibatkan porsi waktu untuk setiap mata pelajaran menjadi terbatas. Belum lagi jika sekolah memberi prioritas bagi mata pelajaran yang di-UN-kan, maka ada kemungkinan mata pelajaran lain yang dikorbankan.
Beban kurikulum pembelajaran dituntut untuk dikuasai peserta didik berdasarkan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan lembaga pendidikan. Belum lagi jika peserta didik belajar di madrasah, di mana mata pelajaran agama dipecah menjadi beberapa mata pelajaran yang lebih spesifik yaitu al-Quran Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqh, Bahasa Arab, Sejarah Islam tentu beban akademiknya semakin berat. Dalam situasi seperti ini, PR merupakan salah satu strategi guru untuk mengupayakan agar semua peserta didik memiliki pemahaman yang tinggi.
Ketiga, perbandingan jumlah guru dan peserta didik yang tidak ideal. Idealnya, guru mengetahui secara detail sejauh mana tingkat pemahaman seluruh peserta didik terhadap mata pelajaran yang diampunya. Evaluasi pembelajaran model K-13 dianggap lebih baik karena bersifat deskripstif dan naratif sehingga benar-benar mencerminkan kemampuan dan penguasaan peserta didik terhadap suatu mata pelajaran.
Tantangannya, model evaluasi ini menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi guru ketika peserta didiknya banyak dan guru tidak mampu mengenali satu per satu peserta didiknya. PR menjadi salah satu alat bagi guru untuk mengidentifikasi sejauh mana peserta didik menunjukkan tingkat pemahamannya terhadap suatu pokok bahasan.
Dengan mempertimbangkan hal di atas, tampak jelas bahwa PR hanyalah implikasi turunan dari aspek-aspek lain dalam pendidikan kita. Sehingga, penghapusan PR tidak akan menjadi sebuah upaya yang solutif dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan selama hal-hal yang terkait tidak ditinjau ulang.
Kita juga tidak dapat dengan serta merta membandingkan situasi pendidikan kita dengan negara lain. Di negara tertentu, misalnya Finlandia, dengan jam belajar yang lebih singkat, jumlah pelajaran yang lebih sedikit, serta tanpa adanya PR, ternyata hasil belajar peserta didiknya (dengan indikasi hasil PISA) lebih baik dibanding negara lain.
Menimbang implikasi penghapusan PR
Penghapusan PR dari pendidikan kita akan memberikan manfaat sekaligus dampak yang cukup signifikan baik bagi guru maupun peserta didik. Salah satu dampak PR, bagi peserta didik adalah berpengaruh terhadap meningkatnya depresi (Hallam, 2004). PR juga mengurangi waktu bersama keluarga bagi peserta didik (Benneth & Kalish, 2006).
Selain itu, guru juga tidak perlu mengalokasikan waktu tersendiri untuk mengoreksi hasil pekerjaan peserta didik. Jadi, ketika PR dihapuskan, maka tingkat depresi peserta didik berkurang, memiliki waktu yang lebih banyak untuk keluarga, serta guru memiliki waktu yang lebih untuk melakukan hal lain yang lebih bermanfaat bagi pembelajaran.
Namun, dampak yang ditimbulkan dengan penghapusan PR bisa jadi cukup serius, salah satunya adalah hilangnya manfaat yang diperoleh dengan adanya PR. Dalam kajian literatur, beberapa ahli berpendapat bahwa PR memberikan manfaat yang besar bagi peserta didik. Paschal, Weinstein, & Walberg (1984), Cooper & Valentine, 2001), Cooper (1989), Hallam (2004) Cooper, Robinson, and Patall (2006) menemukan bahwa PR meningkatkan hasil belajar peserta didik secara signifikan terutama di lembaga pendidikan jenjang menengah.
Peneliti lain, seperti De Jong, Westerhof, & Creemers (2000), Trautwein & Köller (2003), Dettmers, Trautwein & Lüdtke (2008) menemukan bahwa hasil belajar yang tinggi memang tidak satu-satunya dipengaruhi oleh faktor adanya PR dari guru, namun juga mengakui adanya kontribusi PR terhadap kesuksesan belajar peserta didik.
Selain itu, mengerjakan PR bagi peserta didik bukan semata-mata menyelesaikan tugas dari guru, namun mengandung banyak manfaat lain, berupa pembentukan soft skills di antaranya mendidik kemandirian (Epstein, dkk, 1993), melatih manajemen waktu menjadi lebih baik, memilih tugas dengan skala prioritas, belajar tanggung jawab (Armida, 2018), serta mencoba menyelesaikan masalah (McCune, 2018).
Kemudian, tanpa adanya PR, tantangan bagi orang tua menjadi lebih besar dalam mendorong putra putrinya untuk rajin belajar. Bagi peserta didik tertentu, PR adalah salah satu alasan mengapa mereka perlu dan harus belajar. Jika tidak ada PR, peserta didik sering kali tidak belajar, terutama bagi peserta didik di jenjang dasar dan menengah pertama, di mana kesadaran akan pentingnya belajar masih harus ditekankan pihak eksternal, selain dirinya.
Jika PR dihapus maka orang tua ditantang untuk mampu menemukan startegi lain untuk mendorong peserta didik tetap belajar. Dan sepertinya hal ini akan menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi orang tua.
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa penghapusan PR memberikan dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang diperolehnya.
Beberapa Alternatif Strategi
Memang betul bahwa PR memiliki sisi negatif. Tetapi jangan lupa, aspek positifnya juga tidak sedikit. Karenanya PR tidak perlu dihapuskan dari pendidikan kita. Beberapa strategi lain dapat dipertimbangkan dan bisa jadi memberikan dampak lebih konkret dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, termasuk hasil belajar, dari pada sekedar menghapuskan PR.
Pertama, Optimalisasi PAIKEM. Selama ini guru kita sudah dibekali dengan kemampuan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Dan Menyenangkan). Pertanyaannya sekarang adalah: apakah guru kita sudah merubah prinsip belajar yang semula teacher-centered menjadi learner-centered sehingga menjadikan peserta didik lebih aktif sebagai subyek belajar?
Apakah guru kita sudah banyak menginisiasi metode pembelajaran baru atau menciptakan media pembelajaran sendiri? Apakah proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru sudah berjalan efektif? Jika prinsip PAIKEM ini benar-benar dipraktekkan oleh guru, pembelajaran akan menjadi sebuah proses yang menarik bagi peserta didik, menyadari kelemahan dan kekurangannya dalam belajar, memiliki semangat elaborasi, eksplorasi dan konfirmasi (EEK) dalam belajar, serta sehingga hasil belajarnya menjadi lebih baik.
Kemudian, guru juga perlu memodifikasi PR sesuai dengan target yang ingin dicapai. PR yang diberikan guru kepada peserta didik tidak harus selalu berorientasi akademik, namun juga memiliki makna lain, baik yang tersirat maupun tersurat (sebagai bagian dari hidden curriculum).
Guru dapat juga menanamkan dan mengajarkan nilai atau karakter tertentu melalui PR tersebut. Aspek inilah yang juga cukup menarik dipraktekkan di Finlandia, negara yang dianggap terdepåan dalam bidang pendidikan, di mana PR diberikan dengan tujuan agar anak tetap menikmati proses belajar baik dari sisi akademik maupun non akademik.
Selain itu, guru dapat juga memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menentukan sendiri target pembelajaran yang ingin dicapai berikut aktifitasnya di luar jam pelajaran (sebagai PR). Dengan model ini, peserta didik akan terdorong untuk berkreasi dan berinovasi.
Penutup
Persoalan terkait PR ini memang masih akan menjadi dilemma bagi kita karena dua sisi yang dimilikinya; positif dan negatif. Tantangan bagi kita bersama untuk mengoptimalkan sisi positif dan meminimalisir dampak negatifnya. Lebih dari itu, permasalahannya bukan ada atau tidaknya PR bagi peserta didik, tetapi bagaimana mengemas PR sehingga mampu mendorong peserta didik memiliki minat tinggi untuk belajar, sehingga belajar bukanlah aktifitas yang membuat peserta didik tertekan, sebagaimana diktum Freire (1970) dalam karyanya, the oppressed pedagogy.
Karenanya, kebijakan penghapusan PR dari dunia pendidikan kita idealnya perlu didahului dengan kajian mendalam secara komprehensif dan holistik terhadap aspek-aspek terkait, bukan semata-mata sekedar upaya “mencontoh” praktek pendidikan negara lain hanya karena berasumsi bahwa di negara tersebut tanpa PR justru mutu pendidikan (dan hasil belajar peserta didik) lebih baik. Belum tentu model dan system yang diterapkan di negara lain akan memberikan hasil yang sama baiknya saat diterapkan di negara kita. Wallaahu A’lam.
REFERENSI
Armida, G. (2018). Homework and responsibility, Teacher Story. January 2018.
Bennett, S. dan Kalish N., (2006) The Case Against Homework: How Homework Is Hurting Our Children and What We Can Do About It, New York: paperback.
Cooper, H. (1989). Homework, White Plains, NY: Longman.
Cooper, H. and Valentine, J. C. (2001). Using research to answer practical questions about homework. Educational Psychologist, 36: 143–153.
Cooper, H., Robinson, J. C. and Patall, E. A., (2006). Does homework academic achievement? A synthesis of research, 1987–2003. Review of Educational Research, 76: 1–62.
De Jong, R., Westerhof, K. J. and Creemers, B P.M., (2000). Homework and student math achievement in Junior High Schools. Educational Research and Evaluation, 6: 130–157.
Dettmers S., Trautwein U. & Lüdtke O., (2009). The relationship between homework time and achievement is not universal: evidence from multilevel analyses in 40 countries, School Effectiveness and School Improvement, 20:4, 375-405.
Epstein, M dkk (1993). Homework: A Comparison of Teachers' and Parents' Perceptions of the Problems Experienced by Students Identified as Having Behavioral Disorders, Learning Disabilities, or Mo Disabilities, remedial and Special education, Vol 14, Issue 5, 1993
Freire, P. (1970). The Oppressed Pedagogy, New York: Continum.
Hallam, S. (2004). Homework: The Evidence, London: Bedford Way Papers.
McCune L. (2018). Blogging and Self-Graded Homework in Contemporary Problem Solving, PRIMUS, DOI: 10.1080/10511970.2018.1443533.
Paschal, R. A., Weinstein, T. and Walberg, H. J., (1984). The effects of homework on learning: A quantitative synthesis. Journal of Educational Research, 78: 97–104.
Trautwein, U. and Köller, O. (2003). The relationship between homework and achievement: Still much of a mystery. Educational Psychology Review, 15: 115–145.
Oleh : Muchammad Tholchah
Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)
Editor : Muhammad Andi Setiawan