Padahal jika sudah dicerai, status wanita tersebut sudah bukan gadis melaikan adalah janda meskipun masih perawan. Maka alangkah baiknya mahar itu yang memiliki nilai materi atau dapat diperjual belikan sehingga dapat dimanfaatkan nilainya bagi sang istri.
Dalam sebuah sirah (sejarah), Nabi memang pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar hafalan al-Qur’an. Namun jika dilihat asbabul wurud-nya, hal itu terjadi karena si laki-laki tidak memiliki harta apapun yang dapat diberikan kepada calon istrinya, sehingga Nabi mmerintahkannya dengan hafalan al-Qur’an. Dari hadist tersebut menunjukkan bahwa bentuk mahar yang utama adalah yang bernilai materi. Jika benar benar tidak memiliki harta atau materi sebagai mahar, maka langkah terakhir yang diperbolehkan adalah memberikan mahar berupa hafalan surat Al Quran.
Karena itu, secara pribadi penulis kurang setuju dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang menggunakan “seperangkat alat sholat” atau hafalan ayat sebagai mahar perkawinan. Meski mahar tersebut tidak dilarang dalam agama kita. Namun menurut penulis lebih afdhol jika mahar perkawinan adalah harta yang dapat dimanfaatkan oleh calon istri.
Dalam sebuah riwayat, konon mahar Nabi Muhammad SAW kepada Siti Khotijah adalah sebanyak dua puluh (20) bakrah. Yang dimaksud bakrah adalah unta betina yang masih muda. Jika dikonversikan dengan kondisi hari ini harga barkah sedikit diatas sapi, mungkin sekitar 40 juta Rupiah. Maka jika dijumlahkan, setidaknya mahar Rasulullah senilai 800 juta Rupiah.
Oleh : Rokhana Khalifah Al Amin, S.Sy
Mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam (HKI) Pascasarjana IAIN Salatiga
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait