Kebiasaan Mahar Perkawinan di Indonesia: Seperangkat Alat Sholat?

Tim iNews.id
Mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam (HKI) Pascasarjana IAIN Salatiga, Rokhana Khalifah Al Amin, S.Sy (Foto: Dok)

Mahar wajib diberikan oleh calon suami kepada calon istrinya, entah itu pembayarannya secara tunai maupun hutang. Hal itu telah menjadi jumhur ulama. Wajib mahar disini berarti hukumnya adalah dosa bagi seorang laki-laki apabila tidak menunaikannya (tidak memberikan mahar).  Dasar pemberian mahar jelas disebutkan dalam al-Qur’an surah An-Nisa ayat 4 :

 

وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ

Artinya: “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan…….” (Q.S. An Nisaa, 4:4).

Selain dari ayat al-Quran tersebut, terdapat pula hadist Nabi Muhammad SAW:

قَالَ لِرَجُلٍ تَزَوَّجْ وَلَوْ بِخَاتَمٍ مِنْ حَدِيدٍ

 "Menikahlah meskipun maharnya hanya dengan cincin besi." (Bukhari 4753)

Berdasarkan hadist tersebut, mengindikasikan bahwa mahar sifatnya wajib dan dianjurkan sesuatu yang bernilai materi. Tidak ada nash yang mengatur secara pasti tentang jumlah atau kadar mahar dalam pernikahan. Islam memberi otoritas bagi perempuan untuk menentukan jumlah maharnya.  Atau dapat dikatakan bahwa tidak ada batas maksimal untuk menentukan mahar.

Wanita diperbolehkan menentukan besar dan banyaknya mahar sesuai keinginan mereka. Namun demikian, dianjurkan untuk menentukan mahar yang tidak memberatkan bagi pasangannya (laki-laki). Anjuran ini didasarkan pada hadist:

إِنَّ أَعْظَمَ النِّسَاءِ بَرَكَةً أَيْسَرَهُنَّ صَدَاقًا.

“Sesunggunya wanita paling besar barakahnya, adalah mereka yang paling mudah (ringan) maharnya (HR. Baihaqi 14745).”

 

Ketika ada wanita yang meminta mahar dalam jumlah yang banyak, selama si laki-laki mampu dan menyetujui, maka hal tersebut diperbolehkan. Karena tidak ada nash yang secara rinci membatasi jumlah maksimal mahar. Banyak atau sedikit, besar atau kecil adalah sesuatu yang sifatnya relatif atau tidak mutlak, sehingga bisa terjadi perbedaan antara satu orang dengan orang lain. Bisa jadi bagi si A, mahar 1 Milyar Rupiah sangat berat, namun bagi si B mahar 1 milyar sangat ringan dan mudah.

 

Oleh karenanya, hal yang perlu diperhatikan dalam mahar bukan besar kecil jumlahnya, namun kemampuan laki-laki dalam memberikan mahar. Poin terpentingnya adalah, sebaiknya mahar tidak menyulitkan dan tidak memberatkan bagi calon pasangan (laki-laki).

 

Kedudukan mahar bisa ditafsirkan sebagai tanda kesanggupan suami dalam menghidupi istri dan sebagai tanda penghormatan terhadap istri. Dalam perspektif ulama fikih, mahar dapat dikatakan sebagai jalan penghalal isteri.  Dalam Surah Al-Baqarah 237 dinyatakan:

 

وَاِنْ طَلَّقْتُمُوْهُنَّ مِنْ قَبْلِ اَنْ تَمَسُّوْهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ اِلَّآ اَنْ يَّعْفُوْنَ اَوْ يَعْفُوَا الَّذِيْ بِيَدِهٖ عُقْدَةُ النِّكَاحِ

Artinya: “Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan Maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang telah kamu tentukan…..” (Al Baqarah, 2:237)

Sesuai ayat diatas, ketika ada wanita yang diceraikan sebelum dicampuri (berhubungan suami-isteri), maka wanita tersebut berhak menerima separuh dari jumlah mahar. Hukum Islam sangatlah bijak, wanita tetap mendapatkan mahar meski hanya separuh sebagai bentuk kompensasi karena terjadinya perceraian, karena status wanita tersebut bukan lagi gadis melainkan janda (meskipun masih perawan).

kebiasaan yang banyak terjadi pada masyarakat kita adalah menggunakan seperangkat alat sholat sebagai mahar. Banyak pula yang menjadikan hafalan ayat al-Qur’an sebagai mahar. Mahar seperti ini memang diperbolehkan, tidak dilarang. Namun Jika terjadi hal seperti kasus diatas, dan mahar perempuan tersebut adalah mahar hafalan surat al-Qur’an atau mahar seperangkat alat sholat. Maka setengah dari jumlah mahar tersebut tidak akan bermakna bagi si wanita.

Padahal jika sudah dicerai, status wanita tersebut sudah bukan gadis melaikan adalah janda meskipun masih perawan. Maka alangkah baiknya mahar itu yang memiliki nilai materi atau dapat diperjual belikan sehingga dapat dimanfaatkan nilainya bagi sang istri.

Dalam sebuah sirah (sejarah), Nabi memang pernah menikahkan seorang sahabat dengan mahar hafalan al-Qur’an. Namun jika dilihat asbabul wurud-nya, hal itu terjadi karena si laki-laki tidak memiliki harta apapun yang dapat diberikan kepada calon istrinya, sehingga Nabi mmerintahkannya dengan hafalan al-Qur’an. Dari hadist tersebut menunjukkan bahwa bentuk mahar yang utama adalah yang bernilai materi. Jika benar benar tidak memiliki harta atau materi sebagai mahar, maka langkah terakhir yang diperbolehkan adalah memberikan mahar berupa hafalan surat Al Quran.

 

Karena itu, secara pribadi penulis kurang setuju dengan kebiasaan masyarakat Indonesia yang menggunakan “seperangkat alat sholat” atau hafalan ayat sebagai mahar perkawinan. Meski mahar tersebut tidak dilarang dalam agama kita. Namun menurut penulis lebih afdhol jika mahar perkawinan adalah harta yang dapat dimanfaatkan oleh calon istri.

Dalam sebuah riwayat, konon mahar Nabi Muhammad SAW kepada Siti Khotijah adalah sebanyak dua puluh (20) bakrah. Yang dimaksud bakrah adalah unta betina yang masih muda. Jika dikonversikan dengan kondisi hari ini harga barkah sedikit diatas sapi, mungkin sekitar 40 juta Rupiah. Maka jika dijumlahkan, setidaknya mahar Rasulullah senilai 800 juta Rupiah.

Oleh : Rokhana Khalifah Al Amin, S.Sy

Mahasiswa S2 Hukum Keluarga Islam (HKI) Pascasarjana IAIN Salatiga

Editor : Muhammad Andi Setiawan

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network