Uu juga mengatakan, menjelang bulan suci Ramadhan dan Idul Fitri, penggunaan speaker masjid dan musala menjadi sangat vital karena menjadi momentum syiar Islam. Sehingga, jika ada pihak yang merasa terganggu dengan penggunaan speaker masjid, dia berharap, rasa saling menghargai masyarakat lebih ditingkatkan.
"Di bulan Ramadhan dan Lebaran nanti, penggunaan speaker pasti lebih banyak, kan sebagai syiar nuansa Ramadhan. Kalau memang ada umat Islam atau non-muslim yang merasa terganggu, di sinilah kita harus lebih saling menghargai," jelas Uu.
Selain itu, Kemenag juga seyogyanya melibatkan tokoh-tokoh agama dari berbagai daerah di seluruh Indonesia untuk berdiskusi sebelum membuat aturan. Dengan demikian, aturan akan lebih mudah diterapkan dan ditaati, meski SE tidak memiliki kekuatan hukum.
"Paling tidak ada komunikasi dulu dengan tokoh agama atau pemuka masyarakat lainnya. Jangan tiba-tiba (keluarkan) edaran, masyarakat banyak yang bertanya pada saya. Sekalipun secara hierarki surat edaran tidak memiliki kekuatan hukum, tetapi masyarakat banyak yang resah dengan hal semacam ini," bebernya.
Lebih lanjut, Uu menyarankan agar Kemenag lebih menitikberatkan penyusunan aturan terkait pemanfaatan masjid dan musala jelang Ramadhan, namun disesuaikan dengan kondisi perkembangan pandemi COVID-19. Menurutnya, langkah tersebut lebih bijak untuk dilakukan di negara dengan penduduk mayoritas muslim ini.
"Saya harap Kemenag lebih bijaksana dalam mengambil keputusan pengaturan agama di Indonesia yang mayoritas muslim. Lebih baik kita persiapkan umat Islam menghadapi bulan suci Ramadhan, surat edaran masjid harus dipersiapkan untuk salah tarawih dan sebagainya. Itu akan lebih mengena dan adem pada masyarakat," tuturnya.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait