Aturan-aturan tentang ketertiban penggunaan pengeras suara sudah beberapa kali diterbitkan sejak berdirinya republik ini. Pada tahun 1978 misalnya sudah ada Instruksi Dirjen Binmas Islam Nomor: KEP/d/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar dan Mushalla. Aturan tersebut juga dijadikan dasar Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Surat Nomor: B.3940/DJ.III/HK.00.07/2018 yang juga mengatur soal penggunaan pengeras suara. Sehingga aturan yang baru dikeluarkan Menteri Agama Yaqut Choilil Coumas bukanlah tanpa pijakan dan pertimbangan yang menjadi legacy dari sesepuh-sesepuh di Kemenag sebelumnya.
Di Dunia Islam yang lebih luas, aturan-aturan tentang ketertiban dan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah tidak hanya dilembarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim juga lebih awal serta konsisten menerapkan aturan tersebut, bahkan dengan sanksi yang lebih keras. Arab Saudi misalnya, hanya mengizinkan penggunaan speaker dalam mesjid untuk azan, Shalat Jumat, Shalat Eid, dan Shalat Istisqa (minta hujan).
Negara tetangga kita, Malaysia, hanya membolehkan penggunaan toa untuk azan saja. Tilawah sebelum azan maupun zikir setelah shalat tidak boleh dikumandangkan melalui pengeras suara. Di Mesir juga ada larangan menghidupkan pengeras suara selama Bulan Ramadan dengan tujuan ibadah lebih tenang. Sementara di India penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, termasuk masjid, dilarang dan akan dikenakan sanksi oleh negara.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait