Kiai Soleh Darat dan Islam Indonesia
Kiai Soleh Darat memiliki nama asli Muhammad Shalih ibn Umar dan lahir di Jepara pada tahun 1800-an. Setelah Beliau menempuh ilmu di Makkah, beliau kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan pondok pesantren di daerah Darat yang masuk wilayah Semarang Barat. Perantauannya ke Makkah ini bersama kiai besar lainnya diantaranya Syekh Ahmad Khatib, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Banten, Kiai Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Kontribusi besarnya terhadap Islam di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi.
Hal yang menarik dari profil Kiai Soleh Darat yang memiliki singkronitas dengan IAIN Salatiga terletak pada “Islam Indonesia”. Gambaran visi dari IAIN Salatiga untuk menjadi rujukan Islam Indonesia pada tahun 2030 tentu bukan hanya sekedar pembeda dari keilmuan keislaman pada perguruan tinggi Islam lainnya. Rujukan Islam Indonesia yang utama menurut penulis justru terletak pada profil Kiai Sholeh Darat ini.
Kiai Sholeh Darat menampilkan dakwah dan perjuangan Beliau dalam Islam dengan mengenalkan tulisan Arab Pegon di kalangan para santri. Aksara Arab pegon merupakan aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa lokal. Metode dakwah semacam ini sukses digunakan untuk menghindari ancaman dari penjajah yang mengawasi pergerakan beragama Islam di Tanah Jawa. Beberapa karya Beliau juga dituliskan dalam Arab pegon seperti kitab Majmu’atussyariah al-kafiyah lilawam , Kitab Faid Ar-rahman yang merupakan tafsir al Qur’an pertama di Nusantara yang berbahasa Jawa dan 12 kitab lainnya.
Letak geografis yang berdekatan antara wilayah Semarang dan Salatiga tentu jika kita melakukan penelitian lebih lanjut barangkali akan menemukan kontribusi Beliau terkait dengan kesejarahan Islam di Salatiga, karena Beliau semasa dengan KH Abdul Wahid atau barangkali putranya KH Asyari yang merupakan ayah dari KH Hasyim Asyari. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa Beliau merupakan guru dari KH Hasyim Asyari sekaligus KH Ahmad Dahlan yang konstribusi keislamannya di Indonesia dapat dirasakan dengan adanya dua organisasi besar Islam di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah.
Singkronisasi menarik lainnya adalah IAIN Salatiga yang terletak di Jalan Lingkar Salatiga, atau biasa disebut kampus 3 IAIN Salatiga, memiliki dua gedung kembar sebagai icon institusi yang diberi nama KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan yang merupakan dua dari murid KH Soleh Darat. Simbol KH Soleh Darat tentu akan dapat mencakup dua ulama besar Indonesia yang disatukan dalam bingkai keilmuan seorang KH Soleh Darat. Bahkan jika nantinya IAIN Salatiga membangun gedung baru, maka mereka dapat menamakan gedung-gedung barunya dengan nama-nama murid KH Sholeh Darat yang merupakan para ulama dan pahlawan di Indonesia seperti R.A Kartini, KH Munawwir Krapyak, KH Dahlan Watucongol, KH Idris Solo, KH Dimyati Tremas dan lain sebagainya sebagai simbol Islam Indonesia yang dicita-citakan.
IAIN Salatiga sebagai sebuah institusi yang besar dengan banyak para pakar keilmuan keislaman tentu akan lebih memiliki pertimbangan yang matang dibandingkan uraian kecil singkat ini. Jika dalam nisbat nama terkandung doa dan harapan, maka penamaan UIN di Kota Salatiga patut kita tunggu kehadiran nama itu untuk mencapai satu visi bersama menjadi rujukan islam-indonesia pada tahun 2030 bagi Terwujudnya Masyarakat Damai Bermartabat.
Oleh : Khasan Alimuddin
Alumni Fakultas Syariah IAIN Salatiga
Editor : Febyarina Alifah Hasna Nadzifah
Artikel Terkait