Pilihan Nama IAIN Salatiga
Historitas keislaman di Kota Salatiga tidaklah hampa. Tokoh Islam di Salatiga jika ditelusuri hingga masa hidupnya para Walisongo, maka kita akan menemukan jejak penamaan nama “salatiga” sendiri yang berasal dari suatu kejadian Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Pandan Aran yang merupakan tokoh Islam. Nama Ki Ageng Pandan Aran sendiri telah banyak digunakan sebagai nama yayasan, institusi pendidikan, bahkan rumah sakit. Nama ini memiliki historisitas yang penting dalam kesejarahan Kota Salatiga. Namun untuk dijadikan sebagai sebuah nama kampus di Salatiga menurut penulis perlu dipikirkan kembali.
Tokoh Sunan Kalijaga dalam cerita pembentukan Kota Salatiga juga memiliki andil penting. Kesejarahan Islam di wilayah jawa, terutama Jawa Tengah, sangat erat kaitanya dengan Beliau. Namun nama Sunan Kalijaga ini telah digunakan oleh UIN di Yogyakarta yang merupakan UIN tertua di Indoensia. Beberapa tokoh yang berkaitan dengan kesejarahan Islam di Salatiga diantara adalah Kiai Damarjati, K.H abdul Wahid dan KH Zubair Umar Jaelani.
Kiai Damarjati merupakan tokoh agama islam di Salatiga. Beliau adalah pejuang kemerdekaan yang membangun masjid tertua di kota salatiga untuk penyebaran ajaran Islam. Masjid Damarjati ini didirikan pada tahun 1826 pada masa berkecamuknya Perang Diponegoro dengan Belanda pada tahun 1825-1830. Nama asli Kiai Damarjati adalah Sirojuddin. Beliau diduga berasal dari Surakarta dan ikut menjadi pasukan gerilya Pangeran Diponegoro dalam memerangi Belanda yang basis militernya berada di Kota Salatiga. Nama Kiai Damarjati atau Sirojuddin juga mungkin layak untuk disematkan pada penamaan UIN untuk mengingat historitas perjuangan bangsa dan keislaman.
Pada era 1800-an ini juga terdapat Kiai Abdul Wahid di Salatiga. Beliau merupakan kakek dari KH Hasyim Asyari pendiri organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama. Kisah sejarah Beliau di Salatiga memang minim referensi untuk dilacak, namun bukti bahwa keturunannya merupakan ulama besar bahkan dari keturunannya ada yang menjadi presiden RI ke 4 merupakan bukti nyata konstribusi Beliau yang layak diapresiasi dan dikenang sebagai bukti kesejarahan di Salatiga. Dua ulama diatas memang tidak langsung memberi dampak ke IAIN Salatiga, namun historitas keislaman di Kota Salatiga tidak akan lepas dari Beliau berdua.
Era selanjutnya juga muncul tokoh yang dekat denga IAIN Salatiga yaitu KH Zubair Umar al-Jaelani. Beliau merupakan ulama di Salatiga sekaligus pendiri dan dekan pertama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo sebelum akhirnya institusi ini bertranformasi menjadi STAIN dan berubah ke IAIN Salatiga. Ketokohan Beliau di Kota Salatiga dimulai dari ketika Beliau mulai berkantor di Departemen Agama Kota Salatiga. Beberapa institusi berbentuk yayasan dan pesantren Beliau dirikan di Kota Salatiga seperti Yayasan Imarotul Masajid wal Madaris, Yayasan Pesantren Luhur, Institusi Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pondok Pesantren Joko Tingkir.
Beliau merupakan ahli di bidang ilmu falak yang telah diakui dunia internasional. Keilmuan Beliau di bidang falak ini diakui oleh ulama Makkah, Madinah serta Mesir yang dibuktikan Beliau dengan menjadi pengajar disana. Bahkan di Jami’ al Azhar Mesir, Beliau diangkat menjadi dosen ilmu falak disana. Kepimpinan Beliau dalam negeri juga tidak terbantahkan. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Islam Tinggi Jawa-Madura, Ketua Umum PBNU, Rektor IAIN Walisongo pada tahun 1971, pimpinan pondok pesantren, bahkan menjadi dekan ketika IAIN Salatiga saat ini masih berbentuk Fakultas Tarbiyah cabang dari IAIN Walisongo.
Penyematan nama UIN Salatiga dengan menggunakan nama Beliau tentu merupakan bakti dan apresiasi yang tepat karena konstribusi Beliau terhadap IAIN sangatlah besar. Kontribusi Beliau tentu masih dapat dirasakan oleh beberapa sesepuh agama di Kota Salatiga yang masih hidup mengingat jarak tahun yang masih agak pendek dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain di Kota Salatiga. Tanpa mengecilkan kontribusi KH. Zubair terhadap IAIN Salatiga, penulis merasa bahwa ada nama lain yang pantas juga untuk disematkan dalam penamaan UIN Salatiga, yakni KH Soleh Darat.
Editor : Febyarina Alifah Hasna Nadzifah
Artikel Terkait