Ia mengatakan, salah satu cara yang perlu dilakukan dalam rangka mewaspadai dan mencegah konflik adalah dengan membangun kesadaran untuk selalu bersikap waspada serta menjaga saling pengertian antara pemeluk agama dan tetap menjaga persatuan sebagai satu bangsa dan tanah air.
"Dengan begitu, tentunya kehidupan bermasyarakat dapat tetap aman dan nyaman," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Kemenag Kota Cirebon Rizky Riyadi Taufiq berharap kegiatan ini dan menghasilkan gagasan dan landasan teori berkaitan titik nol multikultural di Nusantara. Sehingga Kota Cirebon layak dan sah menjadi Kota Multikultural.
Ia pun mengaku dalam waktu dekat, Kemenag Kota Cirebon bersama Forum Lintas Agama dan Instansi terkait akan menggelar pencanangnan dan Deklarasi Bersama Cirebon sebagai Kota Multikultural.
"Kita bisa bersama-sama membuat sejarah baru berkaitan klaim kembali Cirebon sebagai kota Multikultural. Harapannya Kota kecil ini bisa dijadikan pilot project bagi harmonisasi, kerukunan beragama, dan kemajemukan masyarakat," ungkapnya.
Sementara itu Dr. Eva, salah satu narasumber memaparkan bahwa sangat mengapresiasi terkait gagasan Cirebon sebagai Kota Multikultural tersebut. Multikultural sudah ada sejak peradaban Pra Islam. Hal itu ditandai dengan banyaknya etnis di tinggal di Cirebon.
"Pada tahun 1448 Masehi, komposisi penduduk Cirebon sudah sangat beragam. Mulai dari Sunda sebanyak 197, Jawa 106, Swarnabhumi 16, Arab 11, Cina 6, Ujung Mendini 4, India 2, Siam 2, dan Parsi 2" ujarnya mengutip dari buku Pangeran Wangsakerta, Pustaka Negara Kartabhumi Parwa 1 Sargah 3," ungkapnya.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait