Adapun N Nurhata menyampaikan bahwa masyarakat multikultural Cirebon sudah menanamkan toleransi bagi para pendatang. Diantara Contohnya yaitu Penyambutan Ke Gedheng Jumajan jati kepada Syekh Nurjati, penyambutan Prabu Siliwangi terhadap Syekh Quro, hingga Syekh Quro mengizinkan Prabu Siliwangi menikahi santrinya Subang Larang.
Sementara itu, Eva Nur Arovah menambahkan bahwa pergumulan antar budaya memberikan peluang konflik manakala tidak terjadi memahami dan menghormati satu sama lain.
Untuk meminimalisasi konflik inilah, lanjut Eva, diperlukan upaya kesadaran multikulturalisme dalam rangka pemberdayaan masyarakat heterogen agar dapat terbentuk karakter yang terbuka terhadap perbedaan.
"Puncaknya, hidup damai dengan sesama dapat terwujud secara nyata," ungkapnya.
Eva mengatakan, banyak pihak yang perlu terlibat dalam upaya membangun kesadaran multikulturalisme. Salah satunya instansi yang menaungi lembaga pendidikan. Langkahnya, perlu ada pembelajaran Sejarah Indonesia dengan sasaran utama generasi muda yang sedang menempuh jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi.
Menambahkan yang disampaikan para pakar tersebut, Dr. H. Bambang selaku budayawan dan keluarga Kraton, inisiasi Cirebon sebagai Kota Multikultural tersebut suatu hal yg harus diwujudkan. Berdasarkan fakta sejarah dan naskah-naskah yang ada, tidak diragukan lagi bahwa Cirebon sejak lahir hingga kini sudah menjadi Kota yg majemuk dan tidak gagap dengan perbedaan, atas dasar tersebut maka generasi sekarang inilah yg harus mampu menghidupkan kembali dan mewujudkannya.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait