SALATIGA,iNewsSalatiga.id - Meski diiringi bervarian kontroversi, protes dan segala bentuk penolakan lainnya secara internasional, pada akhirnya disahkan juga pasal perzinahan (sex extra marital) dalam perundangan hukum di Indonesia. Artinya hubungan yang dilakukan bukan pasangan suami istri adalah kejahatan “duniawi” pula, bukan lagi kejahatan “ukrawi” seperti selama ini.
Kenyataan ini tentu disambut gembira oleh berbagai kalangan dan sudah menjadi sunatullah, ada yang pro dan yang kontra, yang satu lagi tentu tidak ikut berpendapat. Di antara yang pro tentu kalangan agamawan dan orang-orang yang punya logika jernih. Di antara yang kontra, tentu punya alibi, argument dan mungkin juga ada di antara dua varian manusia yang telah disebut sebelumnya yang salah satu argumennya adalah: mengurusi ruang privat seseorang. Golongan ketiga adalah orang yang tidak mau tahu, mungkin masih belum selesai dengan urusan perut.
UUD 1945, pasal 29 ayat 1 mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Amanat itu tentu menjadi pedoman dalam kehidupan bernegara, ber-relasi secara sosial.
Ber-relasi secara sosial, ada yang bersifat antar individu (interpersonal), kelompok (small-group), maupun relasi secara public. Dalam konteks berelasi antar individu ini, nampaknya yang harus kita kulik lebih dalam dalam membincang pasal perzinahan ini.
Hubungan antarindividu dalam perpektif agama manapun, tentu tidak dilarang. Namun bila hubungan itu melaju kencang melampaui batas akal sehat, tentu agama akan hadir menjadi wasit yang dapat menembut sekat privat individu beragama. Apalagi bila sudah bicara tentang hubungan suami-istri, yang sudah jamak menjadi pengetahuan umum, merupakan salah satu kebutuhan biologis (fitrah) manusia dan tak dalil aqli (logika) maupun naqli (ayat dan hadits) yang menyangkal. Persoalannya kemudian, kenapa keputusan pengesahan itu disoal oleh orang-orang yang beragama dan mendasarkan negaranya kepada Tuhan yang Maha Esa??
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait