Pengukuhan tiga guru besar secara bersamaan telah diselenggarakan oleh IAIN Salatiga pada tanggal 2 Februari 2022. Tiga guru besar baru ini atas nama Prof. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag. sebagai guru besar bidang Ilmu Tafsir; Prof. Dr. Benny Ridwan, M.Hum sebagai guru besar bidang Ilmu Sosiologi Islam, dan Prof. Kastolani, M.Ag., Ph.D. sebagai guru besar bidang Ilmu Sejarah dan Pemikiran Islam. Pengukuhan ini tentu merupakan kabar gembira bagi civitas akademika IAIN Salatiga dan warga Kota Salatiga selain kabar Rperpres tentang perubahan alih status IAIN menjadi UIN pada akhir Bulan Januari.
Bertambahnya guru besar di IAIN Salatiga dan rencana perubahan alih status yang disetujui ini tentu semakin menjawab kelayakan institusi yang terletak di kota yang mendapatkan predikat kota toleran di Indonesia ini. Perubahan alih status tentunya akan berimplikasi pada kematangan keilmuan dan organisasi kelembagaan di IAIN Salatiga. Kematangan akademik ini dibuktikan dengan 11 profesor dan menempatkan IAIN Salatiga dalam empat besar IAIN di Indonesia yang memiliki jumlah guru besar terbanyak. Selain itu, IAIN Salatiga merupakan IAIN pertama yang memiliki jurnal terindeks internasional Scopus.
Perkembangan organisasi kelembagaan IAIN Salatiga juga relatif cepat. Perubahan menjadi IAIN pada tahun 2014 dan sekarang hampir alih status menjadi UIN dalam jangka waktu 7 tahun merupakan bukti berkembangnya organisasi kelembagaan yang semakin membaik. Kesejarahan IAIN Salatiga tidak bisa dilepaskan dari buah tangan K.H Zubair Umar al Jailani sebagai pendiri dan sekaligus dekan pertama yang saat itu lembaga ini masih merupakan bagian dari UIN Walisongo yang berbentuk Fakultas Tarbiyah.
Perubahan Alih Status IAIN Salatiga menjadi UIN ini menjadi perbincangan yang menarik bagi warga Kota Salatiga terutama civitas Akademik di IAIN Salatiga. Alih-alih berharap akan muncul beberapa nama yang akan diperbincangkan untuk nama UIN, justru nama “UIN Salatiga” yang keluar sebagai pilihan nama. Pilihan nama “UIN Salatiga” ini diharapkan dapat memunculkan ke-khas-an daerah Kota Salatiga yang berbeda dengan UIN yang lain. Namun bagi penulis, penting kiranya dipikirkan kembali secara mendalam pemberian nama ulama bagi institusi ini.
Arti Sebuah Nama
Pemberian nama dari orang tua kepada anaknya merupakan elemen mendasar dan penting. Nama merupakan doa yang terkadang didalamnya dan terdapat harapan-harapan dan keinginan. Terkadang dalam memberikan nama juga ada nisbat didalamnya yang berarti bahwa kita berharap anak yang kita beri nama akan “mirip” dengan nisbat-nya. Bisa jadi dalam pemberian nama kita memberi identitas orang tua, identitas kejadian atau apapun yang dalam istilah jawa sebagai “tetenger” atau tanda untuk membedakan satu dengan yang lainnya.
Identitas nama dalam UIN Salatiga mungkin akan menjadi tetenger yang membedakan antara UIN Salatiga dengan UIN pada umumnya. Penggunaan nama kota sebenarnya bisa menjadi pembeda antar Lembaga Pendidikan di bawah kementrian agama ini. Pertanyannya adalah apakah kita rela menamakan anak kita dengan sebuat nama yang hanya menjadi pembeda bagi yang lain tanpa sebuah harapan dan doa yang terkandung didalamnya.
Kota Salatiga memang merupakan sebuah kota yang konon penamaannya berasal dari tiga kesalahan yang dilakukan oleh Ki Ageng Pandan Arang dan Istrinya Bersama sunan kalijaga. Nama Salatiga secara harfiah bermakana “salah tiga” yang konon sebelumnya nama kota ini adalah Hampra dalam Prasasti Plumpungan yang merupakan cikal-bakal berdirinya kota yang terletak dibawah lereng gunung merbabu ini. Bisa jadi penamaan UIN Salatiga memang sebenarnya ingi tetap mengingat tiga kesalahan Ki Ageng Pandan Arang dalam penamaannya atau menjaga historitas tersebut sebagai cikal bakal nama kota yang dijadikan nama universitas. Namun hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari pihak kampus tentang pemilihan nama UIN Salatiga.
Pilihan Nama IAIN Salatiga
Historitas keislaman di Kota Salatiga tidaklah hampa. Tokoh Islam di Salatiga jika ditelusuri hingga masa hidupnya para Walisongo, maka kita akan menemukan jejak penamaan nama “salatiga” sendiri yang berasal dari suatu kejadian Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Pandan Aran yang merupakan tokoh Islam. Nama Ki Ageng Pandan Aran sendiri telah banyak digunakan sebagai nama yayasan, institusi pendidikan, bahkan rumah sakit. Nama ini memiliki historisitas yang penting dalam kesejarahan Kota Salatiga. Namun untuk dijadikan sebagai sebuah nama kampus di Salatiga menurut penulis perlu dipikirkan kembali.
Tokoh Sunan Kalijaga dalam cerita pembentukan Kota Salatiga juga memiliki andil penting. Kesejarahan Islam di wilayah jawa, terutama Jawa Tengah, sangat erat kaitanya dengan Beliau. Namun nama Sunan Kalijaga ini telah digunakan oleh UIN di Yogyakarta yang merupakan UIN tertua di Indoensia. Beberapa tokoh yang berkaitan dengan kesejarahan Islam di Salatiga diantara adalah Kiai Damarjati, K.H abdul Wahid dan KH Zubair Umar Jaelani.
Kiai Damarjati merupakan tokoh agama islam di Salatiga. Beliau adalah pejuang kemerdekaan yang membangun masjid tertua di kota salatiga untuk penyebaran ajaran Islam. Masjid Damarjati ini didirikan pada tahun 1826 pada masa berkecamuknya Perang Diponegoro dengan Belanda pada tahun 1825-1830. Nama asli Kiai Damarjati adalah Sirojuddin. Beliau diduga berasal dari Surakarta dan ikut menjadi pasukan gerilya Pangeran Diponegoro dalam memerangi Belanda yang basis militernya berada di Kota Salatiga. Nama Kiai Damarjati atau Sirojuddin juga mungkin layak untuk disematkan pada penamaan UIN untuk mengingat historitas perjuangan bangsa dan keislaman.
Pada era 1800-an ini juga terdapat Kiai Abdul Wahid di Salatiga. Beliau merupakan kakek dari KH Hasyim Asyari pendiri organisasi besar Islam Nahdlatul Ulama. Kisah sejarah Beliau di Salatiga memang minim referensi untuk dilacak, namun bukti bahwa keturunannya merupakan ulama besar bahkan dari keturunannya ada yang menjadi presiden RI ke 4 merupakan bukti nyata konstribusi Beliau yang layak diapresiasi dan dikenang sebagai bukti kesejarahan di Salatiga. Dua ulama diatas memang tidak langsung memberi dampak ke IAIN Salatiga, namun historitas keislaman di Kota Salatiga tidak akan lepas dari Beliau berdua.
Era selanjutnya juga muncul tokoh yang dekat denga IAIN Salatiga yaitu KH Zubair Umar al-Jaelani. Beliau merupakan ulama di Salatiga sekaligus pendiri dan dekan pertama Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo sebelum akhirnya institusi ini bertranformasi menjadi STAIN dan berubah ke IAIN Salatiga. Ketokohan Beliau di Kota Salatiga dimulai dari ketika Beliau mulai berkantor di Departemen Agama Kota Salatiga. Beberapa institusi berbentuk yayasan dan pesantren Beliau dirikan di Kota Salatiga seperti Yayasan Imarotul Masajid wal Madaris, Yayasan Pesantren Luhur, Institusi Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pondok Pesantren Joko Tingkir.
Beliau merupakan ahli di bidang ilmu falak yang telah diakui dunia internasional. Keilmuan Beliau di bidang falak ini diakui oleh ulama Makkah, Madinah serta Mesir yang dibuktikan Beliau dengan menjadi pengajar disana. Bahkan di Jami’ al Azhar Mesir, Beliau diangkat menjadi dosen ilmu falak disana. Kepimpinan Beliau dalam negeri juga tidak terbantahkan. Beliau pernah menjabat sebagai Ketua Mahkamah Islam Tinggi Jawa-Madura, Ketua Umum PBNU, Rektor IAIN Walisongo pada tahun 1971, pimpinan pondok pesantren, bahkan menjadi dekan ketika IAIN Salatiga saat ini masih berbentuk Fakultas Tarbiyah cabang dari IAIN Walisongo.
Penyematan nama UIN Salatiga dengan menggunakan nama Beliau tentu merupakan bakti dan apresiasi yang tepat karena konstribusi Beliau terhadap IAIN sangatlah besar. Kontribusi Beliau tentu masih dapat dirasakan oleh beberapa sesepuh agama di Kota Salatiga yang masih hidup mengingat jarak tahun yang masih agak pendek dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain di Kota Salatiga. Tanpa mengecilkan kontribusi KH. Zubair terhadap IAIN Salatiga, penulis merasa bahwa ada nama lain yang pantas juga untuk disematkan dalam penamaan UIN Salatiga, yakni KH Soleh Darat.
Kiai Soleh Darat dan Islam Indonesia
Kiai Soleh Darat memiliki nama asli Muhammad Shalih ibn Umar dan lahir di Jepara pada tahun 1800-an. Setelah Beliau menempuh ilmu di Makkah, beliau kemudian kembali ke Indonesia dan mendirikan pondok pesantren di daerah Darat yang masuk wilayah Semarang Barat. Perantauannya ke Makkah ini bersama kiai besar lainnya diantaranya Syekh Ahmad Khatib, Kiai Mahfudz Termas, Kiai Nawawi Banten, Kiai Kholil Bangkalan, dan lain-lain. Kontribusi besarnya terhadap Islam di Indonesia tidak perlu dipertanyakan lagi.
Hal yang menarik dari profil Kiai Soleh Darat yang memiliki singkronitas dengan IAIN Salatiga terletak pada “Islam Indonesia”. Gambaran visi dari IAIN Salatiga untuk menjadi rujukan Islam Indonesia pada tahun 2030 tentu bukan hanya sekedar pembeda dari keilmuan keislaman pada perguruan tinggi Islam lainnya. Rujukan Islam Indonesia yang utama menurut penulis justru terletak pada profil Kiai Sholeh Darat ini.
Kiai Sholeh Darat menampilkan dakwah dan perjuangan Beliau dalam Islam dengan mengenalkan tulisan Arab Pegon di kalangan para santri. Aksara Arab pegon merupakan aksara Arab yang dimodifikasi untuk menuliskan bahasa lokal. Metode dakwah semacam ini sukses digunakan untuk menghindari ancaman dari penjajah yang mengawasi pergerakan beragama Islam di Tanah Jawa. Beberapa karya Beliau juga dituliskan dalam Arab pegon seperti kitab Majmu’atussyariah al-kafiyah lilawam , Kitab Faid Ar-rahman yang merupakan tafsir al Qur’an pertama di Nusantara yang berbahasa Jawa dan 12 kitab lainnya.
Letak geografis yang berdekatan antara wilayah Semarang dan Salatiga tentu jika kita melakukan penelitian lebih lanjut barangkali akan menemukan kontribusi Beliau terkait dengan kesejarahan Islam di Salatiga, karena Beliau semasa dengan KH Abdul Wahid atau barangkali putranya KH Asyari yang merupakan ayah dari KH Hasyim Asyari. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa Beliau merupakan guru dari KH Hasyim Asyari sekaligus KH Ahmad Dahlan yang konstribusi keislamannya di Indonesia dapat dirasakan dengan adanya dua organisasi besar Islam di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah.
Singkronisasi menarik lainnya adalah IAIN Salatiga yang terletak di Jalan Lingkar Salatiga, atau biasa disebut kampus 3 IAIN Salatiga, memiliki dua gedung kembar sebagai icon institusi yang diberi nama KH Hasyim Asyari dan KH Ahmad Dahlan yang merupakan dua dari murid KH Soleh Darat. Simbol KH Soleh Darat tentu akan dapat mencakup dua ulama besar Indonesia yang disatukan dalam bingkai keilmuan seorang KH Soleh Darat. Bahkan jika nantinya IAIN Salatiga membangun gedung baru, maka mereka dapat menamakan gedung-gedung barunya dengan nama-nama murid KH Sholeh Darat yang merupakan para ulama dan pahlawan di Indonesia seperti R.A Kartini, KH Munawwir Krapyak, KH Dahlan Watucongol, KH Idris Solo, KH Dimyati Tremas dan lain sebagainya sebagai simbol Islam Indonesia yang dicita-citakan.
IAIN Salatiga sebagai sebuah institusi yang besar dengan banyak para pakar keilmuan keislaman tentu akan lebih memiliki pertimbangan yang matang dibandingkan uraian kecil singkat ini. Jika dalam nisbat nama terkandung doa dan harapan, maka penamaan UIN di Kota Salatiga patut kita tunggu kehadiran nama itu untuk mencapai satu visi bersama menjadi rujukan islam-indonesia pada tahun 2030 bagi Terwujudnya Masyarakat Damai Bermartabat.
Oleh : Khasan Alimuddin
Alumni Fakultas Syariah IAIN Salatiga
Editor : Febyarina Alifah Hasna Nadzifah