get app
inews
Aa Text
Read Next : Madrasah Diniyah Pagar Betis NKRI

Satu Abad NU : Jalan Keluar Kemelut Peradaban

Rabu, 01 Februari 2023 | 11:22 WIB
header img
Wakil Ketua I Pimpinan Cabang GP. Ansor Kota Salatiga, Muhammad Nabhan, S.H.I, (Foto : Ist)

"YANG abadi adalah perubahan “, kata Herakleitos dari Efasus. Maka, sejarah adalah catatan tentang tentang serial perubahan-perubahan. Tindakan masa kini adalah tanggapan atas perubahan dan upaya menciptakan perubahan. Rencana masa depan adalah antisipasi terhadap perubahan.

Perubahan-perubahan paling kasat mata tampak pada perkembangan teknologi, sebab teknologi adalah hasil upaya manusia yang tak henti-henti untuk menciptakan lebih banyak kemudahan dan mengatasi kelangkaan. Di abad ke-21 ini, capaian-capaian teknologi yang revolusioner menjadi atmosfer utama bagi dinamika masyarakat.

Adapun faktor yang paling banyak menentukan arah perubahan pada tingkat masyarakat, budaya, dan peradaban adalah kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi. Negara-negara bubar dan terbentuk di tangan raja-raja, masyarakat menjadi kelaparan atau berpesta di bawah sepak terjang dan inisiatif kaum pemegang kekayaan.

Maka, ketika kita hendak mengenali momentum perubahan dan memperhitungkan proyeksinya ke masa depan, faktor-faktor teknologi, politik dan ekonomi adalah paling penting untuk diperhatikan. Memang, dalam wawasan yang demikian itu terdapat reduksi dan penyederhanaan masalah. Tapi, ibarat menangkap ujung benang ruwet, ini titik tolak yang valid di tengah realitas yang luar biasa kompleks. Nuansa-nuansa yang datang dari faktor-faktor lain akan dikenali kemudian dalam proses untuk mengurainya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa momentum paling mencolok dalam perkembangan teknologi dalah revolusi teknologi informasi dan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Teknologi informasi membuat lompatan dengan berlipatnya jangkauan, kecepatan, dan kompleksitas muatan. Hal ini berarti pula melipat-gandakan kapasitas rekayasa di berbagai bidang, termasuk sosial-politik.

Seiring dengan itu, penggunaan keceerdasan buatan meluas, mendorong percepatan ambil-alih kerja dari manusia ke mesin. Konsekuensi-konsekuensi dari momentum ini akan luas dan fundamental terhadap kehidupan masyarakat.

Dukungan teknologi tersebut ikut mendorong berlipatnya kapasitas para pengampu kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi dalam menggalang dan memproyeksikan kekuatan. Dalam politik, perlombaan untuk menjangkau dan menggalang basis dukungan seluas-luasnya semakin “meraksasa”.

Karena jangkauan sasarannya luas, diperlukan bingkai koonsolidasi yang luas pula, dan itu didapati atau dibangun dalam wujud identitas-identitas, baik primordial etnis dan agama maupun buatan, seperti ideologi-ideologi sekuler dan kesertaan dalam kelompok-kelompok yang dilembagakan, yakni partai politik dan atau kategori haluan (kiri-kanan). Polarisasi politik dengan cepat menjelma gejala global. Sedangkan nalar identitas itu sendiri menjadikan pertarungan semakin bercorak kesuku-sukuan (tribal), yakni semakin tidak rasional, tanpa kompromi dan ganas.

Agama pada gilirannya menjadi basis identitas politik yang menonjol dalam percaturan tersebut. Dorongan kearah konflik dipertajam oleh kegetiran sejarah berabad-abad, yaitu sepanjang masa pra-modern, ketika negara, kekuasaan dan agama hadir dalam satu paket dalam pertarungan politik dan militer tanpa jeda. Ini adalah warisan sejarah yang terus menghantui dunia dan semakin menakutkan.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi global mengalami perlambatan. Jelas dalam hal ini kekacauan politik dan perang yang tak kunjung reda di berbagai kawasan merupakan faktor yang signifikan. Sedangkan perlambatan pertuumbuhan itu sendiri akan mengganggu keseimbangan antara pasokan (suppaly) dan permintaan (demend), yang pada gilirannya memperuncing persaingan ekonomi hingga terproyeksi ke dalam pertarungan politik pula. Ini semua manjadi jalinan silang-susup yang membentuk lingkaran setan.

Teknologi mungkin bisa melahirkan terobosan untuk memutus lingkaran celaka tersebut. Tetapi skala dan kompleksitas tantangan pasti membutuhkan strategi yang komprehensif, melibatkan aktor-aktor sosial-politik yang sungguh-sungguh mampu berperan efektif. NU (Nahdlatul Ulama’) yang tepat satu abad pada 31 Januari 2023 ini memiliki kekuatan berupa legitimasi keagamaan dan kemasyarakatan yang kokoh, setidak-tidaknya hingga saat ini, serta instrument-instrument organisasional dan jaringan yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat secara sistimatik hingga ke akar rumput.

Dewasa ini bahkan NU semakin meningkatkan daya jangkauannya kepada aktor-aktor signifikan dalam percaturan global. Apabila semua itu dapat dikonsolidasikan ke dalam suatu strategi komprehensif yang valid, NU akan mengaktualisasikan potensinya untuk menyumbang jalan keluar menuju kebangkitan baru.

Bahkan, kemelut global yang memuncak, khususnya terkait stabilitas dan keamanan, justru menerbitkan peluang peran besar bagi NU dan NKRI. Gagasan “Humanitarian Islam” (Islam untuk Kemanusiaan, Al-Islam lil insaniyyah) yang dideklarasikan oleh Gerakan Pemuda Ansor pada 2017 di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, dan kemudian dilengkapi dengan kerangka teologis secara valid oleh Musyawarah Alim Ulama NU di Kota Banjar, 2019 beserta “Manifesto Nusantara” yang diumumkan di Yogya, 2018, kini mulai mewarnai wacana global tentang perdamaian dan tata dunia baru yang diimpikan semua orang. Yaitu “tata dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, ditegakkan di atas dasar penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat diantara sesama”.

Oleh      : Muhammad Nabhan, S.H.I

( Wakil Ketua I Pimpinan Cabang GP. Ansor Kota Salatiga )                           

Editor : Muhammad Andi Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut