Prof. Dr. Adang Kuswaya dalam orasi ilmiahnya yang berjudul Konstestasi Muslim Salatiga dalam Kontruksi Budaya Damai; Aplikasi Pendekatan Hermeneutika Sosio-Tematik atas Konsep Hidup Damai dalam Al-Quran menyebutkan bahwa Islam mengajarkan perdamaian sebagai prinsip hubungan antarumat manusia dengan mengaitkan kata Islam dengan makna perdamaian. "Setiap manusia yang mendeklarasikan diri sebagai Muslim wajib mengejawantahkan perdamaian sebagai prinsip interaksi sosial," jelasnya.
Menurutnya, pemahaman semacam itu cukup efektif dalam mengkonstruksi kehidupan damai di masyarakat. "Masyarakat Kota Salatiga sudah menerapkan konsep perdamaian terhadap realitas budaya," ujarnya.
Selanjutnya, Prof. Dr. Benny Ridwan menjelaskan mengenai Role Model Deradikalisasi Kehidupan Beragama di Indonesia dalam orasi ilmiahnya. Prof. Benny memandang proses deradikalisasi sebagai proses yang rumit dan tidak mudah, "Radikalisme bukan hanya soal kesalahan ideologi agama, radikalisme menggambarkan fenomena sosial masyarakat yang begitu kompleks. Oleh karena itu, penanganannya tidak cukup hanya dengan me-reinterpretasi ayat-ayat suci Al-Quran saja, namun butuh kerja keras dari semua pihak mulai dari aparat keamanan dengan penegakan hukumnya, para hakim dengan keadilannya, akademisi dengan keilmuannya, pendidik, pembuat kebijakan (policy maker), ekonom, elit politik hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau lembaga-lembaga yang dibangun dengan semangat demokrasi lainnya."
Guru Besar Ilmu Sosiologi Islam itu menegaskan bahwa program deradikalisasi membutuhkan peran serta seluruh komponen, baik pemerintah, masyarakat (termasuk dunia usaha) maupun dunia pendidikan.
Sedangkan Prof. Kastolani pada kesempatan tersebut menyampaikan orasi ilmiah berjudul Menyoal Nalar Islam Memperbaiki Cara Kita Beragama. "Terjadinya pemaknaan ajaran keagamaan terjadi melalui proses transmisi dan transformasi melalui tafsir-tafsir keagamaan yang diperankan oleh para tokoh Islam. Proses ini pada akhirnya menegaskan bahwa ajaran keislaman dalam wujud praktik ditentukan pada bagaimana pemeluknya mengekspresikan keagamaannya," katanya di hadapan para hadirin.
Dirinya juga mengimbau umat Islam untuk memperbaiki cara berpikir dalam beragama, "Karena sejatinya apa yang kita lakukan bergantung pada apa yang kita pikirkan." Prof. Kastolani menilai, seorang Muslim harus menempatkan Islam sebagai tatanan sistem di dalam dirinya sebagai acuan dalam menjalani kehidupan, baik dalam aspek intelektual maupun emosional. "Segala bentuk simbol-simbol keagamaan, mukjizat, magis maupun upacara ritual berperan penting dalam proses pembentukan sistem nilai dalam diri seorang Muslim," pungkasnya.
Dengan adanya pengukuhan tiga guru besar itu, IAIN Salatiga kini memiliki 11 guru besar. Jumlah guru besar di IAIN Salatiga masuk empat terbanyak di lingkungan IAIN se-Indonesia. Banyaknya guru besar yang dimiliki IAIN Salatiga menunjukkan kesiapan IAIN Salatiga untuk beralih status menjadi UIN.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait