Menunggu Kepastian (Catatan untuk Awal Bulan Rajab 1443 H)

Tim iNews.id
Pengelola Observatorium UIN Walisongo Semarang, M. Ihtirozun Ni’am ( Foto Dok)

Penulis melihat ini dari beberapa perspektif. 
Pertama, dari perspektif standar imkanurrukyah. Sampai dengan artikel ini ditulis, masih muncul perdebatan di kalangan ilmuwan terkait berapa derajat idealnya hilal bisa diamati secara emphiris dan bisa dibuktikan secara sains. Kriteria imkanurrukyah MABIMS yang dipakai selama ini, dinilai masih belum akomodatif terhadap aspek pembuktian secara emphiris, sehingga dimunculkanlah wacana kriteria imkanurrukyah neo-MABIMS yang parameternya relatif lebih tinggi, yakni tinggi Hilal minimal 3 derajat, dan sudut elongasinya minimal 6,4 derajat. Apabila kriteria neo-MABIMS ini diberlakukan untuk konteks awal Rajab 1443 H, belum ada satupun wilayah di Indonesia yang sudut elongasi hilalnya mencapai 6,4 derajat, sehingga hasilnya akan sama dengan hasil ikhbar, yakni awal bulan Rajab jatuh pada hari Kamis.


Namun yang perlu difahami, bahwa kriteria imkanurrukyah merupakan satu hal yang dinamis. Ia merupakan formulasi dari sekian banyak data hasil pengamatan hilal. Seiring penambahan data dan ditemukannya fenemona baru, bisa saja kriteria tersebut mengalami perubahan.

Kedua, dari perspektif pemakaian rukyah untuk bulan di luar Ramadhan dan  Syawwal. 
Berawal dari hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tentang perintah memulai puasa ketika melihat Hilal dan berbuka ketika melihat Hilal, serta dari hadist-hadist lainnya yang serupa, ulama’ menetapkan bahwa untuk penentuan awal Ramadhan dan Syawwal didasarkan pada hasil rukyah. Apabila Hilal terlihat, maka keesoan harinya masuk tanggal 1 namun apabila tidak terlihat maka harus istikmal (digenapkan menjadi 30 hari).


Dalam historitasnya, selain uuntuk bulan-bulan besar seperti Ramadhan maupun Syawwal, Khalifah Umar pernah memakai konsep hisab ‘urfi dimana untuk bulan ganjil berumur 30 hari, untuk bulan genap berumur 29 hari. Ini merupakan refleksi dari hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar tentang jumlah hari dalam satu bulan dimana Rasul pada waktu mengatakan bahwa “as-syahru hakadza wa hakadza, ya’ni marrotan tis’atan wa ‘isyrina wa marotan tsalatsina” (Bulan itu seperti ini, yakni terkadang berjumlah 29 hari dan terkadang berjumlah 30 hari). 


Apa yang dilakukan khalifah Umar ini lebih mengandung kepastian terhadap penentuan bulan-bulan lainnya, tanpa mengesampingkan signifikansi rukyah saat momentum penentuan awal Ramadhan ataupun Syawwal. Semoga dengan sedikit refleksi ini, aspek kepastian (certainty) dalam penentuan awal-awal bulan kamariah turut dipertimbangkan dalam pembuatan kalender dan pemberian informasi kepada masyarakat awam, sehingga masyarakat bisa merencanakan dan melaksanakan ibadah muwaqqat yang hendak dilakukannya tanpa bingung memikirkan waktu pelaksanaannya.
Oleh : M. Ihtirozun Ni’am
Pengelola Observatorium UIN Walisongo Semarang,
Dosen UIN Walisongo Semarang,
Pengurus Lembaga Falakiyah PWNU Jawa Tengah

 

Editor : Muhammad Andi Setiawan

Sebelumnya

Bagikan Artikel Ini
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis iNews Network tidak terlibat dalam materi konten ini.
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network