BARU-baru ini, publik dihebohkan dengan berita perselingkuhan antara Ibu mertua dan menantu. Kabar yang masih sangat hangat ditelinga kita, kisah pilu seorang wanita yang suaminya berselingkuh dengan ibu kandungnya.
Norma Risma, warga Serang provinsi Banten ini menceritakan kisah pilunya di media sosial TikTok hingga mendapat perhatian dari netizen dan mendapat simpati yang mendalam. Norma Risma menceritakan penghianatan oleh R, laki-laki yang menikahinya 21 September 2021 lalu dan harus berakhir dengan kepedihan dalam usia pernikahan yang seumur jagung (dilansir Youtube Podcast Denny Sumargo 29-12-2022).
Perselingkuhan itu terbongkar karena warga sudah curiga dengan R dan mertuanya, sang suami dan ibu Norma Risma tersebut digerebek warga saat berdua di dalam rumah melakukan hal yang tidak sewajarnya dengan pintu terkunci. Berdasarkan informasi warga yang disampaikan Risma keduanya dalam keadaan telanjang saat pintu telah didobrak warga. Selain berselingkuh, R di duga juga pernah melakukan KDRT kepada Norma Risma saat masih status menikah. Risma begitu terpukul dan memutuskan untuk menggugat cerai suaminya.
Idealnya keluarga adalah sakinah mawaddah wa rahmah, akan tetapi angka perceraian semakin meningkat. Salah satu penyebabnya adalah peselingkuhan. Fenomena perselingkuhan di Indonesia mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian, baik cerai gugat ataupun cerai talak. Dari fenomena yang terjadi, tindakan perselingkuhan ini jangan sampai menjadi lazim atau kelumrahan yang dinormalisasikan dan dianggap persoalan yang biasa.
Perlu untuk diingat bahwa adanya pernikahan sah adalah untuk tujuan hidup yang sakinah mawaddah warohmah (Lihat UU No 1 Tahun 1974 dan KHI). Oleh karena itu, pemahaman keluarga sakinah harus terus didemonstrasikan di tengah masyarakat.
Sekali lagi, perselingkuhan bukan trend yang di wajarkan, bahkan yang dijadikan selingkuhan merasa bangga dan tidak merasa bersalah, sebab perslingkuhan bisa dipidanakan sebagaimana pasal 284 ayat (1) KUHP “suami istri yang terbukti melakukan perselingkuhan, salah satu yang dirugikan dapat melaporkan pasangannya tersebut melalui kepolisian”. Sehingga suami/istri sah dapat menggunakan pasal tersebut, yang harus ditekankan ialah segala bentuk pengkhianatan dan kecurangan diluar pasangan sah adalah salah.
Adanya perselingkuhan, muncul dari faktor internal ataupun eksternal dalam berpasangan. Jika dilihat dari faktor internal, pertama pelaku perselingkuhan memiliki keimanan yang lemah dan kurangnya ilmu pengetahuan agama. Tidak menjadi jaminan pasti bahwa orang yang paham agama bahkan menduduki posisi sebagai pemuka agama lepas dari perselingkuhan, akan tetapi faktor keimanan lemah memiliki potensi lebih untuk melakukan perselingkuhan.
Kedua, munculnya rasa bosan dan kurang kuatnya komitmen pernikahan. Sementara bosan adalah hal yang wajar dirasakan dalam menjalin hubungan, namun adanya komitmen kuat tentu tidak akan mendorong pelarian kepada perselingkuhan. Dan ketiga, merasa bahwa pasangan tidak sesuai harapan dan berkurangmya rasa cinta terhadap pasangan. Faktor ketiga ini muncul juga berkesinambungan dengan faktor-faktor sebelumnya.
Pernikahan adalah ibadah panjang dari segi waktu untuk menjalani segala ujian dan nikmat kehidupan bersama pasangan. Cinta dan kasih yang seharusnya terus bermekaran ditengah pasangan suami istri bisa pudar seiring berjalannya waktu dan ujian rumah tangga yang dihadapi.
Selain faktor internal diatas, pelaku perselingkuhan juga mendapat dorongan dari luar yang disebut dengan faktor eksternal saat terjerumus dalam perselingkuhan. Diantaranya, godaan laki-laki atau perempuan lain, seperti doktrin yang menebar bahwa ‘rumput tetangga lebih hijau’ membentuk mindset bosan terhadap pasangan dan melihat orang lain jauh lebih baik dari pasangan yang dimiliki. Pasangan yang sering menghabiskan waktu bersama partner atau rekan kerja juga mempengaruhi, karena intensitas dengan pasangan lebih kurang dan pasangan berfikir bahwa kepentingan orang lain lebih diutamakan.
Selanjutnya, faktor ekonomi (break financial) dalam rumah tangga, apabila tidak ada pondasi moral yang baik, lika-liku dan pasang surut keadaan ekonomi dalam keluarga bisa menjatuhkan iman pasangan sehingga tidak mampu bertahan. Perbedaan prinsip hidup antar pasangan serta hubungan rumah tangga yang tidak harmonis. Pentingnya komunikasi antara suami dan istri agar selalu tercipta kehangatan dan keromantisan dalam hubungan marital tersebut.
Adapun faktor KDRT, meskipun negara telah mengatur tindak KDRT dalam konstitusi, kasus KDRT masih marak terjadi dalam rumah tangga. Kemudian perihal biologis seperti permasalahan seksual, permasalahan keturunan yang tidak berujung dalam komunikasi yang selesai, turut mendorong pasangan melakukan perselingkuhan.
Hubungan rumah tangga antara suami dan istri harus berprinsip kesalingan. Relasi yang terbangun harus berdasar ‘saling’ bukan ‘paling’. Jika salah satu dari pasangan merasa paling, yang muncul adalah relasi kuasa, pembenaran atas diri sendiri sehingga merasa bahwa yang diluar argumennya adalah salah, selanjutnya muncul rasa dominasi diri dan melemahkan pasangannya. Pentingnya persamaan persepsi untuk membina bahtera rumah tangga didasarkan pada komunikasi antar pasangan.
Pernikahan juga membutuhkan kerjasama dari suami ataupun isteri. Kesalingan ini bukan hanya perihal cinta kasih, namun juga perihal pembagian peran. Dalam konsep gender terbiasa dengan kesetaraan. Setara ini adalah untuk saling membagi sesuai dengan porsinya, tidak mendiskriminasi salah satu pasangan, dan tidak ada ketimpangan posisi. Suami atau istri sama-sama menjalankan misi hidup untuk mendapat ridho Allah Swt, sehingga hal-hal yang bukan bersifat kodrat (tidak bisa dipertukarkan) seperti menstruasi, mengandung, melahirkan, dan menyusui bisa bertukar peran. Istri juga mendapat kesempatan untuk bekerja diranah publik seperti suami, setelah adanya konsensus keduanya dengan tidak menelantarkan bagian peran yang disepakati.
Dalam menjalani rutinitas kehidupan berumah tangga pastilah muncul rasa jenuh, dan hal itu adalah normal bagi pasangan suami istri. Namun, rasa jenuh harus diantisipasi dan disikapi dengan bijaksana agar tidak memuncak dan tumpah pada kata perceraian. Menarik untuk meminjam konsep mubadalah dalam problematika rumah tangga, bahwa faktor-faktor yang timbul dari adanya perselingkuhan adalah melupakan tujuan dari pernikahan itu sendiri yakni sakinah,mawadah dan rahmah.
Kemudian, tidak menerapkan prinsip-prinsip relasi suami istri dalam rumah tangga. Prinsip tersebut diuntai dalam 5 pilar konsep mubadalah, pertama komitmen pada ikatan janji yang kukuh sebagai amanah Allah Swt (mitsaq ghalizh), kedua prinsip berpasangan dan berkesalingan (zawaj), ketiga perilaku saling memberi kenyamanan/kerelaan (taradh),dan kelima kebiasaan saling berembug bersama (musyawarah).
Bukan berarti fenomena yang terjadi menjadi momok yang ditakuti oleh pasangan suami istri. Sehingga keduanya merasa beban dalam membina rumah tangga, merasa khawatir dan was-was yang justru memicu ketidakpercayaan terhadap pasangan. Dari pemahaman ilmu dan konsep keluarga serta hikmah dari pengalaman orang lain menjadikan kita mawas diri dan lebih bisa mengambil sikap untuk diterapkan dalam melanggengkan hubungan keluarga.
Termasuk juga yang belum menikah, laki-laki dan perempuan yang menunda dan bahkan pobia melakukan perkawinan, harus percaya bahwa setiap orang memiliki kisahnya masing-masing. Sebab menikah bukan hanya sebatas kemauan, akan tetapi juga kemampuan. Perlu adanya kesiapan mental dan pondasi agama yang kuat untuk melangkah membangun sebuah hubungan rumah tangga. Banyak potret pasangan suami/istri yang berhasil dalam kehidupan berumah tangga.
Oleh : Linda Karmelia
Mahasiswa Pascasarjana HKI UIN Salatiga
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait