Namun, kerja-kerja kelompok Syahrir tidak pernah terlihat nyata dan hanya menyokong kelompok
Sukarni. Bahkan bisa dikatakan, Syahrir memiliki sikap yang sama dengan Bung Karno dan Hatta yang
ragu tentang kesikapan para pemuda.
"Apakah sunguh-sungguh siap organisasi kita bersama mengatur penyambutan proklamasi itu? Dan
sampai di manakah tenaga dan atau kekuatan rakyat menyambut proklamasi itu," ungkap Syahrir,
dalam buku Adam Malik, halaman 32.
Pada 16 Agutus 1945 malam, saat para pemuda berkumpul di rumah Sukarni dan Maruto Nitimihardjo,
Sutan Syahrir yang diundang tidak datang. Dalam situasi yang sedang kritis itu Syahrir menghilang dan
tidak berada di tengah pemuda.
Sementara itu, Bung Karno yang telah pulang ke rumahnya untuk mengantar Fatmawati dan Guntur
langsung menuju rumah Laksamana Maeda, Miyakodori, di Jalan Imam Bonjol I. Di sana juga telah
berkumpul sejumlah pemimpin tua lainnya.
Chariul Saleh yang mewakili pemuda, menolak menerima pertemuan itu sebagai rapat Panitia
Persiapan Kemerdekaan, karena menganggap badan itu sangat berbau Jepang. Usul Chairul Saleh, ini
akhirnya diterima oleh Bung Karno.
"Rapat ini bukanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan, rapat ini adalah rapat wakil-wakil bangsa
Indonesia," terang Bung Karno, seperti dikutip dalam buku Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17
Agustus 1945, di halaman 94.
Pada awalnya, proklamasi kemerdekaan Indonesia akan diumumkan pada pukul 00.00 Wib hari itu
juga. Namun, setelah melewati perdebatan panjang mengenai konsep proklamasi, pembacaan
proklamasi akhirnya dilakukan pukul 05.00 Wib.
Lokasi pembacaan proklamasi dipilih di lapangan Ikada, tetapi rencana ini telah bocor, dan akhirnya
dipindahkan ke halaman muka Pengangsaan Timur 56. Baru pukul 10.00 Wib, proklamasi kemerdekaan
Indonesia akhirnya bisa dilakukan.
Pembacaan proklamasi kemerdekaan berlangsung selama 15 menit, termasuk pidato pembukaan dan
penutupan oleh Bung Karno. Demikian kemerdekaan Indonesia akhirnya terwujud, bukan karena
mengemis hadiah dan janji dari Jepang.
Sehari setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan, pada 18 Agustus 1945, dilangsungkan rapat oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan, di sebuah gedung Pejambon No 1. Dalam rapat ini, kelompok pemuda
diwakili Wikana, Chairul Saleh, dan Sukarni.
Dalam rapat itu, Bung Karno dan Bung Hatta terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia yang pertama secara aklamasi. Usul DN Aidit pada rapat di Institut Bakteriologi Pagangsaan
pun akhirnya terwujud.
Sebenarnya, pemilihan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
pertama itu bukanlah semata-mata karena usul Aidit. Apalagi saat itu memang tidak diadakan calon
saingan menurut tata cara demokrasi.
Pemilihan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama dilakukan
atas usul dari Oto Iskandar Dinata. Menurut Tan Malaka, usul ini sesuai dengan kehendak dari Jenderal
Terauchi, di Saigon.
Sampai di sini ulasan singkat Cerita Pagi tentang DN Aidit Pengusul Soekarno menjadi Presiden
Republik Indonesia pertama diakhiri, dalam menyambut hari kemerdekaan Indonesia ke-71. Semoga
mencerahkan dan bermanfaat bagi para pembaca.
Sumber Tulisan
*Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Edisi Revisi, Yayasan Bung Karno,
Cetakan Kedua, 2011.
*Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara Bagian Tiga, Teplok Press, Cetakan Kedua, Juli 2000.
*Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Penerbit Pustaka Pena, Juli 2000.
*Adam Malik, Riwayat Proklamasi Agustus 1945, Penerbit Widjayaa Jakarta, Cetakan Ketujuh, 1982.
*Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946, Pustaka
Sinar Harapan, Cetakan Pertama, 1988
Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Senin, 15 Agustus 2016 - 05:05 WIB oleh Hasan Kurniawan dengan judul "DN Aidit dan Proklamasi 17 Agustus 1945". Untuk selengkapnya kunjungi:
https://daerah.sindonews.com/berita/1131177/29/dn-aidit-dan-proklamasi-17-agustus-1945?showpage=all
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait