Ruang tempat Maulwi ditahan berada di pojok. Pintu besi berlapis baja dan penjagaan yang ketat membuatnya tidak mungkin bisa lolos. Di penjara itu, Maulwi tidak boleh berkomunikasi dengan siapa pun. Bahkan, buang air juga terpaksa dilakukan Maulwi di ruangannya. Kondisi ini membuat Maulwi tidak doyan makan.
Tidak hanya itu, untuk menjatuhkan morilnya, Maulwi sempat masukkan ke dalam ruang tahanan yang berisi para penjahat kriminal. Sebelum akhirnya dipindah ke Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Nirbaya. Di lapas ini, Maulwi ditahan bersama dengan Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur, Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Kompol Mangil dan rekan-rekan lainnya yang sama-sama dituding terlibat dalam gerakan kudeta tersebut.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, selama menjalani masa tahanan Maulwi tidak pernah mendapatkan hak-haknya sebagai tentara seperti gaji dan tunjangan. Bahkan, barang-barang berharga miliknya ikut disita petugas. Beruntung, orang tuanya di Makassar masih hidup sehingga bisa membantu kehidupan keluarga Maulwi.
Hingga pada pertengahan 1972, Maulwi tiba-tiba diperintahkan petugas untuk keluar dari sel. Saat itu, Maulwi diminta untuk naik sebuah mobil. Tanpa banyak tanya, Maulwi pun mengikuti perintah yang ditujukan kepadanya tanpa mengetahui apa yang bakal terjadi. Dalam perjalanan, Maulwi baru mengetahui jika dirinya telah bebas. “Ternyata itu hari kebebasan. Sudah begitu aja,” kenang Maulwi.
Setelah lima tahun menjalani masa tahanan sejak 1967, Maulwi akhirnya bisa menghirup udara bebas. Meski demikian, Maulwi tidak serta merta mendapatkan kebebasannya. Aparat tetap mewajibkan Maulwi mendatangi kantor CPM dan meminta surat keterangan resmi agar tidak dicap sebagai PKI. Tidak hanya itu, Maulwi juga tidak mendapatkan gaji atau pensiunannya sebagai tentara.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait