Tidak hanya itu, menurutnya, sekarang tantangannya adalah potensi besar ini bisa menjadi malapetaka jika tidak dikelola dengan baik. Apa yang disebut dengan ancaman bonus demografi yang bisa berdampak serius diantaranya adalah stunting, ekonomi, intoleransi.
“Karena antara problem ekonomi seringkali beririsan bertautan dengan masalah intoleransi. Orang sulit menjadi toleran ketika perutnya lapar, orang sulit menjadi toleran ketika menjadi pengangguran. Saya berharap Federasi TPI menggarap persoalan ini,” ujarnya.
Kepada para mahasiswa, pendidik, dan serikat pekerja, ia menginbau untuk tidak melihat moderasi beragama hanya dalam perspektif normatifitas teologis. Tapi tafsir sosial yang saya sebut yakni, ekonomi, pengangguran, stunting.
“Ini problemnya kompleks sekali. Mahasiswa bisa mengambil peran, paling tidak memberikan pendampingan dari tiga gejala tersebut dengan nilai-nilai moderasi beragama. Dan yang penting dalam konteks moderasi beragama berbasis tafsir sosial, tidak semua kasus intoleransi itu muncul bersentuhan dengan agama itu sendiri.” tandas Prof. Suyitno.
Ketua Federasi TPI Fika Taufiqurrohman dalam sambutannya menyampaikan diskusi publik ini bertujuan untuk menguatkan nilai-nilai moderasi beragama di kalangan mahasiswa, pendidik, dan serikat pekerja.
“Mahasiswa, pendidik, dan serikat pekerja sejak dini mesti memahami utuh prinsip dan nilai-nilai moderasi beragama. Karenanya pendidikan moderasi beragama ini digelar di kampus dan melibatkan para mahasiswa yang diantaranya terdiri dari para aktivis se DKI Jakarta,” ungkap Fika.
Sekadar diketahui, hadir sebagai Narasumber dalam diskusi ini antara lain Drs. Harianto Oghie, M.A. (Sekretaris LP Maarif PBNU), Fatkhu Yasik, M.Pd (Wakil Rektor UNUSIA Jakarta), dan Suharjono (Wakil Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi) dan dimoderatori oleh Agus Baha’udin, M.H.
Editor : Muhammad Andi Setiawan