Pertama, mengacu kepada konvensi Perserikat Bangsa Bangsa (PBB) menentang penyiksaan hukuman yang tidak manusiawi di mana perbuatan terdakwa masuk kategori kekerasan seksual. Kedua, kekerasan seksual yang dilakukan terdakwa dilakukan kepada anak didik, anak perempuan asuh yang berada dalam relasi kuasa.
Jadi, anak-anak berada dalam kondisi tidak berdaya karena berada dalam tekanan pelaku dan kedudukan pelaku selaku pendiri pengasuh sekaligus pemilik pondok pesantren (ponpes). Ketiga, kekerasan terdakwa ini itu berpotensi merusak kesehatan anak terutama karena di bawah usia 17 tahun. Data menunjukkan bukan hanya membahayakan kesehatan anak perempuan yang hamil di usia dini, tapi berisiko menularkan penyakit HIV, kanker serviks, dan meningkatkan angka morbilitas. Keempat, perbuatan terdakwa berpengaruh kepada psikologis dan emisional anak secara keseluruhan.
Kelima, perbuatan terdakwa telah terencana dan sistematis serta tak mengenal waktu.
Alasan keenam, JPU menuntut hukuman pemberatan, tutur Kajati Jabar, terdakwa Herry Wirawan memakai simbol agama dan pendidikan untuk memanipulasi dan menjadikan alat justifikasi bagi terdakwa untuk melakukan niat jahat dan kejahatan ini. "Membuat anak terpedaya karena manipulasi agama dan pendidikan," tutur Kajati Jabar.
Ketujuh, perbuatan terdakwa menimbulkan dampak luar biasa keresahan sosial. Terakhir, kedelapan, perbuatan terdakwa berpotensi menimbulkan korban ganda menjadi korban kekerasan ssksual dan ekonomi fisik yang menimbulkan dampak sosial berbagai aspek. "Maka dalam tuntutan kami, pertama menuntut terdakwa dengan hukuman mati sebagai bukti dan komitmen kami untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau pihak lain yang akan melakukan kejahatan (seksual)," ucap Asep N Mulyana.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait