Tentu saja bukan karena kebetulan, akan tetapi atas kehendak Allah SWT bahwa kemerdekaan Republik Indonesia jatuh pada tangga 17 Agustus 1945 Masehi yang terjadi di bulan Ramadhan, tepatnya tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriyah. Jika itu sudah menjadi kehendak Allah SWT, tentu saja Allah SWT mempunyai kehendak untuk mengirimkan pesan-pesan hikmah kepada Bangsa Indonesia, bahwa kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari perjuangan para ulama dan kaum muslimin. Dalam surah Al-Baqarah ayat 269 Allah SWT berfirman:
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Sejarah telah menuliskan dengan jelas bahwa kedatangan Islam ke Indonesia melalui interaksi sosial budaya yang telah berlangsung sangat lama. Buya Hamka menuturkan bahwa kedatangan pedagang Arab ke Nusantara sudah terjadi sejak abad ke 7 Masehi atau abad I Hijriyah. Interaksi sosial budaya mereka dengan masyarakat Nusantara khususnya di pesisir Sumatera merupakan misi dakwah Islam yang Rahmatan lil ‘aalamiin. Ini sesuai dengan Al-Qur’an Surah Al-Anbiya ayat 107: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Al Anbiya’: 107).
Ibnu Batutah mencatat dalam kitab Kanzul Hum, bahwa Dakwah Islamiyah di Nusantara berlangsung terus hingga kehadiran Wali Songo sejak tahun 1404 M (808 H) sebagai utusan resmi Kerajaan Islam Turki dan yang menjadi raja saat itu adalah Sultan Muhammad I. Interaksi sosial budaya para Wali Songo yang berlangsung hingga enam angkatan telah meyebarkan Islam di seluruh pelosok Nusantara dengan damai. Firman Allah SWT :
وَمَآ أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَآفَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada menge-tahui.” [QS. Saba’ (34): 28]
Sejarah telah mencatat bahwa bangsa Barat yang datang ke Indonesia membawa misi penjajahan dan perbudakan dengan mencanangkan slogan: Gold, Gospel and Glory. Gold bermakna mencari kekayaan dan keuntungan, Gospel adalah menjalankan tugas suci menyebarkan agama nasrani dan Glory memburu kejayaan, mencari kekuasaan. Maka terjadilah praktek-praktek penjajahan dan perbudakan bangsa barat terhadap masyarakat Nusantara. Hasil alam pun mereka eksploitasi berlebihan semata-mata hanya untuk kemakmuran bangsa Eropa.
الَّذِينَ آمَنُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَالَّذِينَ كَفَرُوا يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ فَقَاتِلُوا أَوْلِيَاءَ الشَّيْطَانِ ۖ إِنَّ كَيْدَ الشَّيْطَانِ كَانَ ضَعِيفًا
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, karena sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (An Nisa’ : 76)
Dari Sabang sampai Maluku, dari Pulau Rote hingga Miangas, kaum muslimin yang dipimpin para ulama mengangkat senjata melawan tindakan semena-mena dari penjajah barat. Perlawanan dan perjuangan Kaum Muslimin yang melawan penjajah Portugis antara lain : Pati Unus dari Demak (1513); Panglima Fatahillah dari Kerajaan Jayakarta (1526-1527); Sultan Baabullah dari Kerajaan Ternate (1575); dan Sultan Iskandar Muda dari Kesultanan Aceh (1607-1636). Sedangkan perjuangan para ulama dan Kaum Muslimin yang berhadap-hadapan dengan Belanda antara lain : Tuanku Imam Bonjol dari Sumatera Barat, Cut Nyak Dhin dari Aceh, Sultan Hasanuddin dari Sulawesi Selatan, Pattimura (Mat Lussy) dari Kerajaan Islam Sahulau Seram, Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta, Teuku Umar dari Aceh, Pangeran Antasari dari Banjar dan lain-lain.
Perlawanan para ulama dan Kaum Muslimin terhadap para penjajah di Nusantara merupakan realisasi dari perintah Allah SWT yang berbunyi :
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ لِلَّهِ ۚ فَإِنِ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللَّهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Al Anfaal : 39).
Kemerdekaan Republik Indonesia yang bertepatan dengan datangnya bulan bulan Ramadhan merupakan hikmah yang sangat dalam bagi Kaum muslimin, bahwa sesungguhnya kemerdekaan Indonesia tidak bisa lepas dari perjuangan para ulama dan kaum muslimin melawan para penjajah. Atas dasar perintah agama mereka merasa memiliki kewajiban untuk membela dan mempertahankan tanah air yang tercinta dengan melakukan jihad fi sabilillah. Itulah sebabnya Pangeran Diponegoro dan Tuanku Imam Bonjol memberi nama Perang Sabil dalam perjuangannya melawan penjajah. Sedangkan di Aceh dikenal dengan nama perang Sabe, yang semuanya bermakna jihad fi sabilillah membela dan mempertahankan Negara melawan penjajah.
Di saat kita meningkatkan derajat spiritualitas, maka kita tidak boleh melupakan medan perjuangan fisik jihad fi sabilillah melawan kemungkaran dan kebathilan. Pada Bulan Ramadhan Rasulullah SAW bersama 313 sahabatnya mengangkat senjata melawan 1000 pasukan kafir Quraisy dalam Perang Badar Al Kubra. Di bulan Ramadhan pulalah Rasulullah saw bersama 10.000 pasukannya menaklukan Kota Makkah tanpa terjadi pertumpahan darah. Peningkatan derajat spiritualitas semestinya dibarengi pula dengan perjuangan fisik dalam rangka turut serta mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dengan semangat cinta tanah air ini, mari kita jaga negeri kita dari segala macam bentuk penjajahan maupun intervensi asing. Jika jaman dahulu bentuk penjajahan adalah dengan intervensi militer, maka di era kekinian bentuk penjajahan bisa berwujud dalam berbagai bentuk. Bisa penjajahan ekonomi, budaya, teknologi, intelektual, mental dan bentuk penjajahan lain. Jika jaman dahulu para ulama dan Kaum Muslimin ada di shaf terdepan dalam melawan penjajah, maka di era sekarang ini kita tunjukkan bahwa kita sebagai Kaum Muslimin masih berada di shaf terdepan melawan segala macam bentuk penjajahan. Semoga Allah senantiasa memberi kekuatan. Aamiin.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait