Teknologi mungkin bisa melahirkan terobosan untuk memutus lingkaran celaka tersebut. Tetapi skala dan kompleksitas tantangan pasti membutuhkan strategi yang komprehensif, melibatkan aktor-aktor sosial-politik yang sungguh-sungguh mampu berperan efektif. NU (Nahdlatul Ulama’) yang tepat satu abad pada 31 Januari 2023 ini memiliki kekuatan berupa legitimasi keagamaan dan kemasyarakatan yang kokoh, setidak-tidaknya hingga saat ini, serta instrument-instrument organisasional dan jaringan yang dapat menjangkau semua lapisan masyarakat secara sistimatik hingga ke akar rumput.
Dewasa ini bahkan NU semakin meningkatkan daya jangkauannya kepada aktor-aktor signifikan dalam percaturan global. Apabila semua itu dapat dikonsolidasikan ke dalam suatu strategi komprehensif yang valid, NU akan mengaktualisasikan potensinya untuk menyumbang jalan keluar menuju kebangkitan baru.
Bahkan, kemelut global yang memuncak, khususnya terkait stabilitas dan keamanan, justru menerbitkan peluang peran besar bagi NU dan NKRI. Gagasan “Humanitarian Islam” (Islam untuk Kemanusiaan, Al-Islam lil insaniyyah) yang dideklarasikan oleh Gerakan Pemuda Ansor pada 2017 di Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, dan kemudian dilengkapi dengan kerangka teologis secara valid oleh Musyawarah Alim Ulama NU di Kota Banjar, 2019 beserta “Manifesto Nusantara” yang diumumkan di Yogya, 2018, kini mulai mewarnai wacana global tentang perdamaian dan tata dunia baru yang diimpikan semua orang. Yaitu “tata dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, ditegakkan di atas dasar penghormatan terhadap kesetaraan hak dan martabat diantara sesama”.
Oleh : Muhammad Nabhan, S.H.I
( Wakil Ketua I Pimpinan Cabang GP. Ansor Kota Salatiga )
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait