Peneliti lain, seperti De Jong, Westerhof, & Creemers (2000), Trautwein & Köller (2003), Dettmers, Trautwein & Lüdtke (2008) menemukan bahwa hasil belajar yang tinggi memang tidak satu-satunya dipengaruhi oleh faktor adanya PR dari guru, namun juga mengakui adanya kontribusi PR terhadap kesuksesan belajar peserta didik.
Selain itu, mengerjakan PR bagi peserta didik bukan semata-mata menyelesaikan tugas dari guru, namun mengandung banyak manfaat lain, berupa pembentukan soft skills di antaranya mendidik kemandirian (Epstein, dkk, 1993), melatih manajemen waktu menjadi lebih baik, memilih tugas dengan skala prioritas, belajar tanggung jawab (Armida, 2018), serta mencoba menyelesaikan masalah (McCune, 2018).
Kemudian, tanpa adanya PR, tantangan bagi orang tua menjadi lebih besar dalam mendorong putra putrinya untuk rajin belajar. Bagi peserta didik tertentu, PR adalah salah satu alasan mengapa mereka perlu dan harus belajar. Jika tidak ada PR, peserta didik sering kali tidak belajar, terutama bagi peserta didik di jenjang dasar dan menengah pertama, di mana kesadaran akan pentingnya belajar masih harus ditekankan pihak eksternal, selain dirinya.
Jika PR dihapus maka orang tua ditantang untuk mampu menemukan startegi lain untuk mendorong peserta didik tetap belajar. Dan sepertinya hal ini akan menjadi pekerjaan yang tidak mudah bagi orang tua.
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa penghapusan PR memberikan dampak negatif yang lebih besar dibanding manfaat yang diperolehnya.
Beberapa Alternatif Strategi
Memang betul bahwa PR memiliki sisi negatif. Tetapi jangan lupa, aspek positifnya juga tidak sedikit. Karenanya PR tidak perlu dihapuskan dari pendidikan kita. Beberapa strategi lain dapat dipertimbangkan dan bisa jadi memberikan dampak lebih konkret dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan, termasuk hasil belajar, dari pada sekedar menghapuskan PR.
Pertama, Optimalisasi PAIKEM. Selama ini guru kita sudah dibekali dengan kemampuan PAIKEM (Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, Dan Menyenangkan). Pertanyaannya sekarang adalah: apakah guru kita sudah merubah prinsip belajar yang semula teacher-centered menjadi learner-centered sehingga menjadikan peserta didik lebih aktif sebagai subyek belajar?
Apakah guru kita sudah banyak menginisiasi metode pembelajaran baru atau menciptakan media pembelajaran sendiri? Apakah proses pembelajaran yang difasilitasi oleh guru sudah berjalan efektif? Jika prinsip PAIKEM ini benar-benar dipraktekkan oleh guru, pembelajaran akan menjadi sebuah proses yang menarik bagi peserta didik, menyadari kelemahan dan kekurangannya dalam belajar, memiliki semangat elaborasi, eksplorasi dan konfirmasi (EEK) dalam belajar, serta sehingga hasil belajarnya menjadi lebih baik.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait