Baru-baru ini, hasil studi Arab Journal of Urology menunjukkan bahwa 40% dari peserta pria muda Saudi telah menggunakan obat mirip Viagra di beberapa titik dalam hidup mereka.
Mesir masih peringkat tinggi. Menurut statistik negara dari 2021, penjualan obat anti-impotensi di sana berjumlah sekitar USD127 juta (Rp1,8 triliun) per tahun, yang setara dengan 2,8% dari seluruh pasar obat-obatan Mesir.
Pada 2014, obat anti-impotensi yang disebut Al-Fankoush muncul di toko kelontong Mesir dalam bentuk cokelat batangan. Al-Fankoush dijual seharga satu pound Mesi. Tak lama setelah dibawa ke pasar, distribusi Al-Fankoush dihentikan dan produsennya ditangkap oleh pasukan keamanan setelah media lokal melaporkan bahwa itu telah dijual kepada anak-anak.
Penggunaan obat anti-impotensi diketahui lebih banyak terjadi di kalangan pria yang lebih tua daripada pria yang lebih muda. Di Yaman, bagaimanapun, data dari kementerian kesehatan menunjukkan bahwa mereka kebanyakan digunakan oleh pria berusia antara 20 dan 45 tahun.
Laporan lokal menunjukkan penggunaan Viagra dan Cialis sebagai obat pesta rekreasi telah menjadi fenomena di kalangan pemuda sejak dimulainya perang saudara antara gerakan pemberontak Houthi dan pemerintah yang didukung Saudi pada 2015.
Mohamed Sfaxi, seorang profesor urologi dan bedah reproduksi Tunisia, menekankan dalam sebuah wawancara dengan BBC bahwa obat-obatan tersebut "bukan stimulan" dan ada untuk mengobati kondisi yang dalam banyak kasus "menderita orang tua".
Sementara itu, seorang pakar seksualitas di Timur Tengah menyarankan pria muda Arab beralih ke pil anti-impotensi karena budaya yang berlaku.
"Alasannya mungkin merujuk pada masalah yang lebih besar yang dihadapi pemuda Arab," jelas Shereen El Feki, jurnalis Mesir-Inggris dan penulis Sex and the Citadel: Intimate Life in a Changing Arab World.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait