Tetapi hanya beberapa menit setelah berbaris dengan teman-teman sekelasnya untuk pidato sambutan, asisten manajer sekolah malah mendekati para siswa, menangis, dan menyampaikan kabar bahwa mereka harus pergi.
"Kami tidak percaya kami menghadapi kondisi seperti itu ... itu seperti hari berkabung. Semua orang menangis dan saling berpelukan," katanya.
Sekembalinya ke rumah, dia mengeluarkan buku-bukunya dari tasnya dan mencoba membayangkan bagaimana dia bisa tetap termotivasi, dengan mengajar anak-anak kecil di lingkungannya untuk membantunya mengingat pelajarannya. Meski begitu, dia mengatakan kekecewaan itu sulit diatasi.
"Saya ingin menjadi dokter di masa depan tetapi untuk saat ini saya tidak punya harapan, saya seperti mayat," lanjutnya.
Media lokal menyiarkan rekaman gadis-gadis yang mengadakan protes di Kabul.
Terakhir kali Taliban memerintah Afghanistan, dari tahun 1996 hingga 2001, mereka melarang pendidikan perempuan dan sebagian besar pekerjaan.
Komunitas internasional telah menjadikan pendidikan anak perempuan sebagai tuntutan utama untuk pengakuan masa depan pemerintahan Taliban, yang mengambil alih negara itu pada Agustus ketika pasukan asing menarik diri.
Editor : Muhammad Andi Setiawan