Sementara pada pasangan milenial (pasca tahun 2000), tren pembagian peran dalam keluarga merupakan hasil kompromi bersama antara suami istri. Hal itu dikarenakan struktur sosial antara laki-laki dan perempuan saat ini lebih setara dalam bidang karir dan pekerjaan, sehingga tidak sedikit keluarga yang pencari nafkah diperankan oleh istri sementara urusan rumah tangga diperankan oleh suami dirasa tidak mengakomodir dengan standarisasi keluarga sejahtera yang lahir pada dekade 2010.
Kementerian Agama telah menerjemahkan UU Perkawinan tidak sebatas pada pembentukan otoritas terkait perkawinan (penghulu, petugas pencatat, kartu nikah, dan sebagainya), namun juga membentuk Bimbingan Pra Pernikahan (Suscatin). Dengan demikian, menjadi sesuatu yang urgen untuk menambahkan standar kesejahteraan keluarga ke dalam UU Perkawinan agar menjadi dasar sosialisasi yang kuat terhadap masyarakat.
UU Perkawinan telah direvisi pada tahun 2019 pada pasal batas usia minimal bagi perempuan, dengan mengacu pada UU Perlindungan Anak. Maka, UU Perkawinan seharusnya juga dapat direvisi pada aspek kesejahteraan keluarga dengan mengacu pada UU tahun 2009. Revisi tersebut menjadi sesuatu yang urgen dan dapat menjadi pondasi yang lebih kuat dalam pelaksanaan perkawinan di masyarakat.
Editor : Febyarina Alifah Hasna Nadzifah