KPAI Sebut Restitusi Korban Pencabulan Herry Wirawan Terlalu Kecil

JAKARTA,iNews.id - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung tentang besaran restitusi untuk santriwati korban pencabulan Herry Wirawan dinilai Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terlalui kecil. dan tidak layak.
Komisioner KPAI Retno Listyarti menyebutkan restitusi yang diputuskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dalam vonis terhadap Herry Wirawan mengambil anggaran dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dan bukannya dari hasil penjualan aset milik terdakwa.
"KPAI menghormati keputusan majelis Hakim PN yang menyidang kasus kejahatan Seksual Herry Wirawan. Keputusan ini belum final, masih ada pengadilan banding dan bahkan pengadilan kasasi," ujar Retno Listyarti, Rabu (16/2/2022).
Pihaknya mengapresiasi perhatian semua pihak atas kasus tersebut dan dukungan kuat penegakan hukum atas kasus kejahatan seksual Herry Wirawan.
Penegakan hukum sangat penting untuk menimbulkan efek jera kepada para predator anak, selain itu penegakan hukum juga sejatinya memperhatikan keadilan bagi korban.
"Namun ketika pelaku sudah dijatuhi hukuman, lalu 13 anak korban dan 9 bayinya dapat keadilan apa? Restitusi yang diputuskan untuk para korban sangat kecil, yaitu hanya Rp331 juta untuk seluruh korban, dan itu pun tidak dibebankan kepada HW, akan tetapi dibebankan kepada Kementerian PPPA," ungkap Retno Listyarti.
Padahal kata dia, KPPPA sendiri anggarannya sudah sangat kecil dibandingkan kementerian lainnya.
"Sedangkan penyitaan asset yayasan HW dan pelelangannya akan diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang nilai assetnya juga belum jelas dan diperuntukan perawatan kepada para korban," ungkap Retno Listyarti.
Oleh karena itu, dirinya sebagai Komisioner KPAI mengajak semua pihak untuk lebih konsen kepada keadilan bagi 13 anak korban maupun 9 bayi yang dilahirkan.
"Semuanya masih memiliki masa depan yang panjang dan sebagai anak mereka memiliki hak untuk hidup, hak untuk tumbuh kembang dengan optimal (hak atas kesehatan yang tertinggi, hak atas pendidikan, hak partisipasi, hak kesejahteraan, dll)," tambah Retno Listyarti.
Hal tersebut kata dia juga termasuk hak untuk anak memperoleh pemulihan psikis yang pasti menimbulkan trauma yang berat dan proses pemulihannya pasti sangatlah lama dan panjang, tidak sama untuk masing-masing korban.
"Begitu pun biaya hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan biaya kesehatan 13 korban dan 9 bayinya pasti lebih besar dari angka restitusi maupun lelang harta yayasan. Selain itu, keputusan penyerahan kekayaan yayasan HW, seharusnya berpatokan pada UU Yayasan, siapa yang berhak menerima penyerahan dan hak mengelola harta kekayaan dari sebuah yayasan)," lanjut Retno Listyarti.
Retno menyebutkan seharusnya APBN juga dapat membiayai anak-anak korban dan bayinya melalui mekanisme berbagai program pemerintah pusat, misalnya program KIP (Kartu Indonesia Pintar); KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan PKH (Program Keluarga Harapan).
Retno memberikan hitungan kasar dari nilai restitusi yang dianggap sangat tidak layak untuk para korban HW.
"Mereka seharusnya otomatis dapat sebagai bentuk pemenuhan hak-hak anak oleh Negara," pungkas Retno Listyarti.
Editor : Muhammad Andi Setiawan