Dalam perjalanan, ia mengirimkan SMS kepada keluarga dan pacarnya saat itu untuk mengatakan bahwa ia dibawa lari.
"Sampai di rumah pelaku, sudah banyak orang, sudah pukul gong, pokoknya [menjalankan] ritual yang sering terjadi ketika orang Sumba bawa lari perempuan," jelas Citra.
Ia mengatakan ia terus melakukan perlawanan dan berusaha untuk mengelak dari ritual-ritual yang dianggap dapat membantu menenangkan perempuan yang ditangkap, seperti penyiraman air pada dahi.
"Saya naik ke pintu rumah adat mereka, biasa ada ritual siram air. Kalau istilah orang Sumba, ketika disiram air, kita tidak bisa kembali, tidak bisa turun lagi dari rumah tersebut. Tapi karena saya masih dalam keadaan sadar saat itu, air tidak kena di dahi tapi kena di kepala."
"Terus saya tetap dibawa masuk ke rumah. Di situ saya protes, saya menangis, saya banting diri, kunci (motor) yang saya pegang saya tikam di perut saya sampai memar. Saya hantam kepala saya di tiang-tiang besar rumah, maksudnya supaya mereka kasihan dan mereka tahu saya tidak mau," kata Citra.
Ia menambahkan bahwa pihak pelaku mengatakan mereka melakukan hal tersebut karena sayang padanya. Hal itu dibantah oleh Citra yang menganggap perlakuan itu salah.
Segala upaya dan rayuan dilakukan demi mendapatkan persetujuan Citra dan keluarganya.
"Saya menangis sampai tenggorokan saya kering. Mereka berusaha memberi air. Tapi saya tidak mau," tutur wanita yang kini berusia 31 tahun itu.
"Kalau orang Sumba, karena saya biasa dengar, kalau orang dibawa lari begitu, karena masih banyak yang percaya istilah magic, jadi kalau kita minum air, atau makan nasi pada saat itu, kita bisa, walaupun kita mau nangis setengah mati bilang tidak mau, saat kita kena magic kita bisa bilang iya."
Lanjut beberapa hari, Citra masih menolak untuk makan dan minum.
Editor : Muhammad Andi Setiawan