Wibowo mengingatkan, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mewariskan disrupsi informasi. Dunia digital menyajikan narasi keagamaan yang bebas akses dan kerapkali dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menyuburkan konflik dan menghidupkan politik identitas.
Mengutip Heidi Campbell, Wibowo mengatakan bahwa era digital juga berdampak pada pudarnya afiliasi terhadap lembaga keagamaan, bergesernya otoritas keagamaan, menguatnya individualisme, dan perubahan dari pluralisme menjadi tribalisme.
Dalam kondisi yang seperti itu, kajian keagamaan menjadi arena basah yang mudah dipermainkan dan dinarasikan sesuai keinginan subjektif semata.
“Media digital menjadi komoditas baru dalam menyebarkan ideologi keagamaan. Teknologi dapat membuka, membentangkan, sekaligus memengaruhi pola dan cara pandang seseorang, walaupun disatu sisi juga sebaliknya, dapat menimbulkan ketakutan, ketidakpuasan, dan pemenjaraan,” tuturnya.
“Ini menjadi tantangan bersama dan semua kita perlu memberikan kontra narasi untuk melahirkan framing beragama yang substantif dan esensial yaitu moderat dan toleran,” tegasnya.
Dijelaskan, moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama dalam kehidupan bersama, dengan cara mengejawantahkan esensi ajaran agama yang melindungi martabat kemanusiaan dan membangun kemaslahatan umum, berlandaskan prinsip adil, berimbang, dan menaati konstitusi sebagai kesepakatan berbangsa.
Editor : Muhammad Andi Setiawan