Dia mengatakan, intinya pada saat tersesat sebenarnya masih bisa bertahan. tapi yang paling tinggi hasrat untuk bunuh diri itu tinggi karena depresi. “Jadi ketika menemukan tebing kan dalam kondisi capek, di situ timbul pemikiran mending lompat saja. Kebanyakan orang kalau pendaki tersesat bunuh diri karena depresi. Tapi di situ aku alihkan pikiran akhirnya tetap jalan terus,” katanya.
Erick mengungkapkan bahwa pada hari ketiga sudah ditemukan tim SAR saat dirinya sudah dekat dengan rumah warga. “Waktu itu pedomannya saya selamat pada saat azan subuh aku bangun jalan, azan magrib aku tidur. Jadi kalau dalam pendakian itu waktu-waktunya cocok untuk kesehatan,” kata Erick.
“Suara azan menyelamatkan sekalian menuntun. Azan membangunkan saya jalan. Waktu itu kondisi saya masih sehat. Kata orang-orang di sini (warga setempat) bilang waktu itu saya sudah mau dimasukkan ke gerbang gaibnya penjaga di Lawu, karena mungkin kurang sopan dan sebagainya, dari situ saya mulai belajar. Seperti kata pepatah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung,” katanya.
Dia mengakui jika kejadian tersesat saat mendaki Gunung Lawu pertama kali seumur hidup selama melakukan pendakian. Namun demikian dia tak kapok untuk tetap mendaki gunung.
“Semenjak kejadian (tersesat di Gunung Lawu), saya masih naik gunung lagi seperti ekspedisi di Maluku. Mungkin kalau nggak ikut pencinta alam saya nggak selamat, karena di Mapala diajari survival dan etika sopan santun pendakian,” ujarnya.
Artikel ini telah tayang di jateng.inews.id dengan judul " Kisah Pendaki 2 Hari Hilang di Gunung Lawu, Makan Pakis dan Tidur di Kandang Babi Hutan ", Klik untuk baca: https://jateng.inews.id/berita/kisah-pendaki-2-hari-hilang-di-gunung-lawu-makan-pakis-dan-tidur-di-kandang-babi-hutan/all.
Editor : Muhammad Andi Setiawan