SEMARANG, iNews.id - Sebanyak kurang lebih 60 orang aktivis lingkungan lakukan aksi berjalan kaki dari Masjid Nusrat Jahan, Jalan Erlangga Raya Nomor 7A menuju Patung Diponegoro, Jalan Pahlawan. Mereka berbondong-bondong melakukan aksi Semarang Climate Strike.
Aksi ini dikoordinasi bersama oleh Jaringan Peduli Iklim Alam yang terdiri dari Persaudaraan Lintas Agama, EIN Institute, Charlotte Mason Indonesia Semarang, YLBHI LBH Semarang, Klub Merby, Puanhayati, Gemapakti, Suster Penyelenggaraan Ilahi (SDP), KPA Pashtunwali, Walhi Jateng, UNISSULA, dan LRC-KJHAM.
Semarang Climate Strike merupakan bagian aksi solidaritas oleh para pegiat iklim sedunia, atau Global Climate Strike yang mendesak pemerintah di seluruh negara untuk melakukan transisi dari energi kotor ke energi bersih agar ambang batas aman kenaikan suhu bumi tidak terlewati. Aksi ini juga diadakan di kota-kota lain di Indonesia, seperti Jakarta, Depok, Sukabumi, Solo, Yogyakarta, Jember, Malang, Makassar, dan Medan. Kegiatan ini sebagian besar digawangi oleh anak-anak muda, para pewaris Bumi di masa depan.
“Kesannya alam itu begini-begini saja, padahal iklim hari ini beda dari iklim zaman ortu kita. Suhu Bumi sejak tahun 1950-an sudah naik 1 derajat celcius, seperti tubuh manusia yang sedang demam, kenaikan suhu ini mengacaukan semua ekosistem," ujar Ellen seusai aksi, (25/03/2022).
Dalam hal iklim, lanjut Ellen, saat ini kita seperti sedang meluncur turun di lereng, sudah hampir sampai di bibir jurang.
Ellen juga menambahkan bahwa satu-satunya hal yang masuk akal untuk dilakukan adalah ikut serta mengerem agar kenaikan suhu bumi ini sebisa mungkin berhenti dan umat manusia sedunia terhindar dari bencana besar.
"Pesan yang kita ingin usung kali ini adalah utamakan manusia, bukan laba – people, not profit!” pungkasnya.
Para peserta aksi tersebut bergantian melakukan orasi, membaca puisi, pentas teatrikal, dan doa bersama demi teratasinya krisis iklim yang makin mengancam seluruh umat manusia dan makhluk hidup yang tinggal di bumi.
Pentas teatrikal diperankan oleh sejumlah ayah, ibu, anak-anak, dan perwakilan organisasi dan komunitas. Satu keluarga memerankan matahari yang kini sinarnya terasa makin panas, keluarga lain memerankan pepohonan dan binatang yang makin menderita, dan keluarga ketiga memerankan manusia yang suka kebablasan memakai teknologi dan mengeksploitasi kekayaan alam sehingga mengganggu keseimbangan Bumi. Lalu muncullah orang-orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama berdoa dan berusaha bersama mengasrikan Bumi kembali. Aksi ditutup dengan doa dari tokoh-tokoh lintas agama.
Patria, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Tengah yang ikut serta dalam aksi juga menjabarkan bahwa Indonesia mengalami peningkatan suhu dan intensitas bencana alam di berbagai kota, bahkan daerah yang sebelumnya tidak mengalami bencana alam saat ini jadi rentan bencana.
"Tahun 2016 Indonesia membuat komitmen untuk menurunkan emisi hingha 11%, namun komitmen itu tidak selaras dengan RPJMN yang masih menggenjot energi batubara," terangnya.
Dia juga mengungkapkan bahwa belum ada langkah ambisius untuk phase out ke energi bersih. Terbukti dari masih dibangunnya sejumlah PLTU baru, konsesi hutan dan pengalihan fungsi hutan menjadi tambang atau kawasan sentra bisnis, eksploitasi alam tidak diimbangi konservasi, serta moda transportasi publik belum diperbaiki.
Dhika, peserta aksi perwakilan LBH Semarang melihat pemerintah masih mengutamakan kepentingan para pengusaha dibandingkan rakyat dan makhluk hidup lain yang tinggal di lokasi-lokasi proyek percepatan pembangunan nasional.
Dia mengungkap masih banyak kasus perusakan lingkungan yang berdampak besar yang menyebabkan konflik dengan rakyat, seperti kasus Wadas, pencemaran air dan udara oleh PT RUM Sukoharjo, perampasan lahan pada pembangunan PLTU Batang, dan pembangunan pabrik semen di Rembang yang mengancam kehidupan petani.
Soni, dari Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) juga menambahkan, isu kita adalah keadilan iklim. Saat ini yang terjadi adalah ketidakadilan. Negara-negara kaya yang menikmati keuntungan dari kemajuan ekonomi dengan membuang banyak emisi karbon, negara-negara berkembang yang harus menanggung dampak kerusakan buminya. Orang-orang kaya hidup nyaman dengan menghambur-hamburkan energi, rakyat miskin yang paling menderita karena alih guna lahan, kerusakan alam, bencana alam, krisis pangan.
"Ini tidak boleh dibiarkan,” tegas Soni.
Saat ini pembangunan Indonesia dan semua negara lain telah mencapai titik kritis dalam arti: apabila kita meneruskan jalan yang kita tempuh sekarang, maka kita akan melampaui batas-batas keseimbangan bumi.
"Semakmur dan sesejahtera apapun kita, semua bakal sia-sia saat bumi tidak bisa lagi dihuni. Sebagai umat beragama, kita perlu beraksi nyata. Di satu sisi kita berdoa, tapi di sisi lain kita harus berusaha mengupayakan perbaikan keseimbangan bumi,” imbuh Setyawan Budy, koordinator Persaudaraan Lintas Agama.
Editor : Febyarina Alifah Hasna Nadzifah
Artikel Terkait