BANYAK riwayat menyebutkan bahwa penyusunan kaidah-kaidah ilmu nahwu itu dilatar belakangi oleh terjadinya laḥn yaitu kesalahan-kesalahan atau penyimpangan dalam membaca al-Qur'an dan pengucapan Bahasa Arab yang menyebabkan perubahan makna yang begitu jelas.
Kesalahan itu disebabkan oleh belum adanya kaidah tata bahasa Arab. Kekhawatiranpun semakin dirasakan seiring dengan semakin tersebarnya Islam ke berbagai penjuru dunia. Abu al-Aswad ad-Du`ali yang dikenal sebagai bapak ilmu nahwu menceritakan beberapa peristiwa yang kemudian membuatnya gelisah akan adanya kesalahan-kesalahan itu.
Dikisahkan pada suatu hari Abu al-Aswad ad-Du'ali melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari' membaca surat at-Taubah ayat 3 dengan ucapan:
(أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ)
Dengan membaca kasrah huruf lam pada kata 'rasūlihi' yang seharusnya di baca dhommah. Hal itu, menjadikan artinya: "Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasul-Nya". Tentu saja arti dari kalimat tersebut menjadi tidak tepat dan menyesatkan. Bahkan jika disengaja membaca-Nya seperti itu bisa menyebabkan kekafiran.
Seharusnya huruf 'lam' pada potongan ayat tersebut memang dibaca dhammah sebagaimana berikut:
(أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik.”
Pada kesempatan lain, Abu al-Aswad ad-Du'ali mendengar seseorang melantunkan QS. Fathir Ayat 28:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Dengan membaca dhommah lafadz "Allah" yang menjadikan artinya: "di antara hamba-hamba-Nya, Allah hanya takut pada ulama". Dengan dibaca seperti itu, Allah menjadi subyek dengan predikat atau mata kerja takut dan para ulama sebagai obyeknya. Tentu saja hal ini tidak benar karena Allah tidak memiliki sifat takut pada siapapun.
Seharusnya lafadz Allah pada potongan ayat itu dibaca fathah, sehingga Allah yang menjadi obyek, dan para ulama sebagai obyeknya:
إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
Artinya:
"Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama".
Diceritakan juga bahwa pada suatu malam Abu al-Aswad ad-Du'ali sedang berada di loteng rumahnya bersama anak perempuannya, sang anak mendongakkan wajahnya memandang langit dan merasa kagum akan keindahan bintang-bintang di malam itu lalu berkata:
مَا أَجْمَلُ السَّمَاءِ
(mā ajmalu as-samā`i)
dengan membaca dhommah lam pada lafadz "ajmal" dan membaca kasrah hamzah pada lafadz "as-samā`".
Mendengar itu, Abu al-Aswad menyangka bahwa anaknya sedang bertanya, karena jika disampaikan dengan ucapan demikian, maksudnya adalah bertanya: "apa yang paling indah di langit?".
'Mā' (ما) di sini adalah kata tanya atau 'istifhām' sebagai 'khabar muqaddam'. Kata 'ajmalu' (أجمل) yang dibaca dhammah adalah bentuk 'isim tafdhil' dibaca rafa' sebagai 'mubtada` muakhhar' sekaligus menjadi 'mudhaf'. Sedangkan kata as-samā`i (السماء) yang dibaca kasrah menjadi mudhaf ilaih yang dibaca jar.
Karena mengira ditanya oleh anaknya, Abu al-Aswad-pun menjawab:
نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّة
"Bintang-bintangnya wahai anakku".
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan:
لَمْ أَسْأَلْ وَإِنَّمَا تَعَجَّبْتُ.
(Lam as`al, wainnamā ta'ajjabtu)
"Aku tidak sedang bertanya, aku hanya ingin mengungkapkan kekagumanku."
Mendengar tanggapan itu, Abu al-Aswad mengatakan pada anaknya: "kalau begitu, katakanlah":
مَا أجْمَلَ السَّمَاءَ
(Mā ajmala as-samā`a)
Dengan membaca fathah lam pada lafadz "ajmal" dan membaca fathah hamzah pada lafadz "as-samā`". Kalimat tersebut menjadi bentuk ungkapan ta'ajjub dalam bahasa Arab. Artinya: "Betapa Indahnya langit."
"Mā" di sini bukan kata tanya lagi tapi "mā at-ta'ajjubiyyah", yaitu mā untuk menunjukkan kekaguman, artinya "betapa atau alangkah". Kata "ajmala" menjadi fi'il t'ajjub yang mengikuti wazan 'af'ala'. Sedangkan kata "as-samā`a" menjadi "al-muta'ajjab minhu" atau sesuatu yang dikagumi yang selalu dibaca nashab.
Dengan peristiwa-peristiwa di atas, Abu al-Aswad ad-Du`ali semakin tertarik & semangat untuk menyusun kaidah-kaidah tata bahasa Arab di bawah arahan langsung dari khalifah Ali bin Abi Thalib yang juga merasakan kegelisahan yang sama.
Setelah membuat kaidah bahwa kata dalam bahasa Arab ada 3, yaitu ism (اسم), fi'l (فعل) & harf (حرف), Ali bin Abi Thalib ra memerintahkan kepada Abu Al-Aswad untuk melanjutkannya dengan mengatakan: انح هذا النَّحْو (unḥu hādza an-naḥwa): "ikutalah/lanjutkanlah semisal ini". Dari sinilah muncul istilah 'ilmu nahwu'.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait