SALATIGA, iNewsSalatiga.id - Salatiga, sebuah kota yang diam-diam menyimpan sejuta cerita, menjadi saksi bisu dari gelombang peristiwa yang membingkai perjalanan sejarah Indonesia. Salatiga telah melihat sejumlah babak dalam perjuangan melawan penjajahan sempat memecahkan Indonesia.
Dan salah satu babak yang paling menonjol adalah ketika peristiwa Perjanjian Salatiga terjadi pada tahun 1757. Salatiga menjadi panggung pertemuan antara VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan Kesultanan Mataram, yang mengawali lembaran baru dalam hubungan keduanya.
Penandatanganan perjanjian ini dilakukan di Gedung Pakuwon yang terletak di Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, Jawa Tengah. Dan kini telah menjadi bangunan cagar budaya yang masih dijaga kelestariannya.
Gedung Pakuwon
Latar Belakang
Perjanjian Salatiga diadakan untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi setelah perebutan kekuasaan yang mengakhiri Kesultanan Mataram. Konflik ini terjadi karena adanya perselisihan antara Pangeran Sambernyawa dengan Pangeran Mangkubumi (Hamengkubuwono I) setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti tahun 1755.
Pangeran Sambernyawa yang merasa diakhianati oleh Pangeran Mangkubumi dan melancarkan perlawanan terhadap VOC, Pangeran Mangkubumi, dan Pakubuwana III atas hasil dari Perjanjian Giyanti yang merugikannya.
Untuk meyelesaikan konflik tersebut, pada tanggal 17 Maret 1757 terjalinlah Perjanjian Salatiga yang melibatkan VOC dengan Kesultanan Mataram yang telah terpecah menjadi dua entitas: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Disamping itu, ada beberapa hal yang membuat VOC merasa harus mengadakan perjanjian ini, diantaranya adalah:
1. Persaingan Wilayah
Wilayah-wilayah pesisir dan perdagangan di Jawa Tengah memiliki kepentingan ekonomi yang tinggi karena perdagangan rempah-rempah dan sumber daya alam. Baik VOC maupun Mataram memiliki ambisi untuk mengendalikan wilayah-wilayah ini, sehingga memicu persaingan dan ketegangan.
2. Konflik Bersenjata
Persaingan antara VOC dan Mataram seringkali berujung pada konflik bersenjata yang merugikan kedua belah pihak. Ketidakstabilan dan ancaman terhadap perdagangan serta kehidupan masyarakat di wilayah tersebut menciptakan suasana yang tidak kondusif.
3. Perpecahan Mataram
Setelah keruntuhan Kesultanan Mataram, muncul dua faksi yang bersaing: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Keduanya saling berkompetisi untuk mendapatkan pengakuan dan kekuasaan di wilayah tersebut.
4. Tekanan Eksternal
Berbagai kekuatan asing dan lokal, termasuk VOC, memberikan tekanan pada kedua belah pihak, mendorong mereka untuk mencari dukungan dan perlindungan dalam upaya mengamankan posisi mereka. Selain itu, terdapat upaya mediasi dari pihak ketiga. Tokoh-tokoh berpengaruh dan penguasa lokal turut berusaha untuk mengakhiri konflik dan merestrukturisasi hubungan antara VOC dan Mataram.
5. Pertimbangan Ekonomi
VOC memiliki kepentingan besar dalam mengamankan wilayah-wilayah perdagangan dan jalur perdagangan rempah-rempah. Di sisi lain, Mataram mungkin merasa terdesak untuk mencari solusi yang menguntungkan baik secara ekonomi maupun stabilitas.
Dalam konteks inilah Perjanjian Salatiga muncul sebagai upaya untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama. Perjanjian ini merestrukturisasi wilayah-wilayah dan hubungan kekuasaan antara VOC dan Mataram. Meskipun berakhirnya konflik secara resmi, dampak dan implikasi dari perjanjian ini terus memainkan peran dalam dinamika politik dan ekonomi di wilayah tersebut, menciptakan perubahan yang meluas dan jangka panjang.
Hasil Perjanjian
Perjanjian Salatiga memuat beberapa hal, yaitu:
1. Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji, sebuah gelar yang memberinya status setingkat dengan raja-raja di Jawa.
2. Pangeran Miji dilarang duduk di Dampar Kencana, takhta kerajaan.
3. Pangeran Miji memiliki hak untuk menyelenggarakan upacara penobatan raja dan menggunakan semua perlengkapan raja.
4. Pangeran Miji tidak diizinkan untuk memiliki Balai Witana.
5. Pangeran Miji tidak diizinkan memiliki alun-alun dan sepasang ringin kembar.
6. Pangeran Miji tidak diperbolehkan melakukan hukuman mati.
Sebagai bagian dari perjanjian, Pangeran Miji diberikan tanah lungguh seluas 4000 cacah yang tersebar di wilayah-wilayah seperti Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, dan Pajang, baik di sebelah utara maupun selatan.
Alasan Dipilihnya Kota Salatiga
Alasan mengapa Kota Salatiga dipilih menjadi tempat penyesesaian konflik antara VOC dengan Kesultanan mataranm adalah karena lokasinya yang strategis, terletak di tengah-tengah Jawa tengah serta memiliki akses yang mudah ke penjuru wilayaj Jawa. Selain itu karena Salatiga merupakan tempat peristirahatan pada masa Kolonial belanda. Salatiga dikenal menjadi daerah peristirahatan bagi bangsa Eropa.
Perjanjian Salatiga membuat terbaginya wilayah Kesultanan Mataram mwnjadi tiga, yang dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono I, Raden mas Said (Pangeran Sambernyawa), dan Pakubuwono III. Meskipun konflik internal kesultanan mereda, perjanjian ini merupakan bentuk adu domba VOC yang berdampak terhadap system ekonomi dan politik pada masa itu. Beberapa hal yang didapat VOC setelah penandatanganan Perjanjian Salatiga:
1. Kontrol Perdagangan: Salah satu dampak utama bagi VOC adalah peningkatan kontrol mereka atas perdagangan di wilayah-wilayah penting Jawa Tengah. Wilayah-wilayah perdagangan yang diberikan kepada VOC dalam perjanjian memberikan akses yang lebih luas terhadap jalur perdagangan rempah-rempah yang sangat menguntungkan. Ini memperkuat posisi ekonomi VOC sebagai pemain utama dalam perdagangan regional.
2. Penguatan Kekuasaan: Perjanjian Salatiga membantu VOC memperkuat posisinya sebagai kekuatan kolonial di wilayah tersebut. Pemisahan wilayah-wilayah Mataram dan perpindahan kekuasaan ke tangan VOC menciptakan dasar untuk pengaruh lebih besar dalam urusan politik dan ekonomi. Hal ini menguatkan dominasi VOC sebagai pemegang kendali atas sebagian besar wilayah Hindia Belanda.
3. Pertumbuhan Ekonomi VOC: Dengan mengamankan wilayah-wilayah perdagangan penting, VOC dapat mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih besar. Pengendalian lebih banyak wilayah perdagangan membawa keuntungan finansial yang signifikan bagi perusahaan tersebut. Keuntungan ini memungkinkan VOC untuk terus mengembangkan infrastruktur, armada kapal, dan sumber daya lain yang mendukung operasi perdagangan mereka.
4. Pemberian Hak Istimewa: Meskipun ada beberapa pembatasan yang diberlakukan kepada Pangeran Miji (Raden Mas Said) sebagai bagian dari perjanjian, VOC memberikan hak istimewa tertentu, seperti hak untuk mengadakan upacara penobatan raja dan menggunakan atribut kerajaan. Ini dapat dilihat sebagai upaya untuk menjalin hubungan yang menguntungkan dengan pihak lokal, sambil tetap mempertahankan kontrol atas wilayah-wilayah perdagangan.
5. Pengaruh Politik dan Diplomasi: Melalui perjanjian ini, VOC berhasil mengamankan dukungan dan perlindungan dari pihak lokal, yang secara tidak langsung meningkatkan stabilitas politik di wilayah tersebut. Ini juga menciptakan dinamika baru dalam hubungan politik dan diplomasi antara VOC dan pihak lokal.
6. Warisan Sejarah: Dampak jangka panjang dari perjanjian ini juga dapat dilihat dalam warisan sejarah Indonesia. Peran VOC dalam mengendalikan perdagangan dan kekuasaan di wilayah ini tetap menjadi bagian integral dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia.
Secara keseluruhan, dampak perjanjian ini menguntungkan VOC dalam mengamankan wilayah-wilayah perdagangan strategis dan memperkuat posisi ekonomi serta politik mereka di wilayah Jawa Tengah dan Indonesia pada umumnya.
Perjanjian Salatiga menjadi bagian dari sejarah dan tidak memiliki dampak langsung pada kehidupan masyarakat saat ini. Namun, perjanjian ini tetap menjadi bagian penting dalam sejarah politik dan kekuasaan di Jawa.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait