KEPALA Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Prof. Dr. Suyitno, M.Ag. menegaskan bahwa nama besar Nahdlatul Ulama (NU) sudah menjagat (mendunia) sejak tahun 1926. Semestinya apapun organisasi di bawah NU, baik organisasi Buruh, Pendidikan, Perguran Tinggi, berkorelasi positif terhadap nama besar NU.
“Kalau ada apakah Banom atau Lembaga khusus, atau yang lainnya belum sebesar nama NU, menurut saya masih ada something wrong,” kata Suyitno saat menjadi Keynote Speaker dalam giat Diskusi Publik bertajuk “Pendidikan Moderasi Beragama Bagi Pendidik, Mahasiswa & Serikat Pekerja”, di Kampus UNUSIA Jakarta, Jumat, 19 Mei 2023.
Prof. Suyitno juga menyampaikan bahwa diskusi yang digelar oleh Federasi Transportasi, Pendidikan, dan Informal (TPI) K-SARBUMUSI NU ini bagian upaya menyadari potensi besar yang dimiliki NU. “Apa yang dilakukan teman-teman Federasi TPI hari ini bagian upaya agar kita itu sadar bahwa kita itu besar,” ujarnya.
Kendati demikian, pihaknya pun mengingatkan bahwa warga NU juga memiliki tantangan yang tidak ringan. “Tidak ringannya dimana? Kita sudah membawa nama besar NU yang telah dilahirkan oleh para kiai, para masyayih, para founding fathers kita yang pada zamannya sulit bisa berkembang, serba terbatas bisa berkembang. Sekarang zamannya serba mudah, banyak akses, fasilitas, kalau kita tidak bisa mengembangkan semua potensi yang ada, menurut saya kita termasuk orang-orang yang kualat,” tegasnya.
“NU itu bisa menjadi alat kepentingan, mukjizat, karomah, tapi kalau tidak hati-hati bisa juga menjadikan kita kualat. Kita menggunakan nama besar NU, kalau tidak bisa membesarkan NU, kita termasuk orang-orang yang terancam kualat. Khususnya teman-teman di Federasi TPI ini,” imbuh Prof. Suyitno.
Tidak hanya itu, menurutnya, sekarang tantangannya adalah potensi besar ini bisa menjadi malapetaka jika tidak dikelola dengan baik. Apa yang disebut dengan ancaman bonus demografi yang bisa berdampak serius diantaranya adalah stunting, ekonomi, intoleransi.
“Karena antara problem ekonomi seringkali beririsan bertautan dengan masalah intoleransi. Orang sulit menjadi toleran ketika perutnya lapar, orang sulit menjadi toleran ketika menjadi pengangguran. Saya berharap Federasi TPI menggarap persoalan ini,” ujarnya.
Kepada para mahasiswa, pendidik, dan serikat pekerja, ia menginbau untuk tidak melihat moderasi beragama hanya dalam perspektif normatifitas teologis. Tapi tafsir sosial yang saya sebut yakni, ekonomi, pengangguran, stunting.
“Ini problemnya kompleks sekali. Mahasiswa bisa mengambil peran, paling tidak memberikan pendampingan dari tiga gejala tersebut dengan nilai-nilai moderasi beragama. Dan yang penting dalam konteks moderasi beragama berbasis tafsir sosial, tidak semua kasus intoleransi itu muncul bersentuhan dengan agama itu sendiri.” tandas Prof. Suyitno.
Ketua Federasi TPI Fika Taufiqurrohman dalam sambutannya menyampaikan diskusi publik ini bertujuan untuk menguatkan nilai-nilai moderasi beragama di kalangan mahasiswa, pendidik, dan serikat pekerja.
“Mahasiswa, pendidik, dan serikat pekerja sejak dini mesti memahami utuh prinsip dan nilai-nilai moderasi beragama. Karenanya pendidikan moderasi beragama ini digelar di kampus dan melibatkan para mahasiswa yang diantaranya terdiri dari para aktivis se DKI Jakarta,” ungkap Fika.
Sekadar diketahui, hadir sebagai Narasumber dalam diskusi ini antara lain Drs. Harianto Oghie, M.A. (Sekretaris LP Maarif PBNU), Fatkhu Yasik, M.Pd (Wakil Rektor UNUSIA Jakarta), dan Suharjono (Wakil Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi) dan dimoderatori oleh Agus Baha’udin, M.H.
Editor : Muhammad Andi Setiawan
Artikel Terkait