Dalam kalender Islam ada bulan yang bernama bulan Ramadhan, bulan Ramadhan menempati urutan yang ke-9 seetelah Sya’ban dan sebelum Syawal. Menurut Syekh Hasan bin Ahmad al-Kaff dalam kitab Al-Taqriiraat al-Sadiidah, ada beberapa alasan penamaan bulan “Ramadhan”. Pertama: di saat penamaanya bertepatan dengan cuaca yang sangat panas. Kedua: berasal dari kata الرَّمْضَاءُ (al-ramdaa’u’) yang artinya sangat panas. Ketiga: kata ‘panas’ itu diidentikkan dengan pembakaran (pengampunan) dosa, karena ampunan Allah terbuka lebar pada bulan tersebut.
Ada kewajiban di bulan Ramadhan yang harus dilakukan oleh seluruh umat islam yaitu ibadah puasa. Menurut Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi dalam kitab Al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, puasa secara etimologi (bahasa) adalah berarti menahan diri untuk tidak melakukan atau mengerjakan sesuatu.
Apabila ada seseorang yang sedang menahan diri untuk tidak berbicara atapun berkata tentang sesuatu apapun, lalu ia tidak bicara sama sekali, maka artinya ia sedang berpuasa. Apabila seseorang sedang menahan diri atau mencegah diri untuk tidak makan, lalu ia tidak makan sama sekali, maka artinya ia sedang berpuasa.
Adapun dalam terminologi (istilah) para ulama fikih menjelaskan bahwa puasa berarti menahan diri dari segala hal yang membatalkan dalam satu hari, yakni sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari dengan memenuhi segala syarat-syaratnya. Definisi ini disepakati oleh madzhab Hanafi dan Hambali, sementara untuk madzhab Maliki dan Syafi’i, mereka menambahkan di bagian akhir kalimat “dengan disertai niat.”
Terkait dalil kewajiban berpuasa di bulan ramadhan, Allah swt menegaskan dalam firman-Nya yaitu QS. Al-Baqarah : 183.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Ada lima ulama besar yang memberikan penjelasan tekait ayat di atas, yaitu:
- Imam ath-Thabari dalam tafsirnya Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an atau dikenal dengan tafsir Ath-Thobari, puasa yaitu menahan diri dari apa-apa yang dilarang oleh Allah. Puasa juga diwajibkan atas umat-umat sebelum umat islam yaitu nashoro, sebagian yang lain mengatakan ahlul kitab. Puasa itu berarti mencegah diri dari makan, minum dan bersetubuh ini adalah ta’wil dari la’allakum tattaquun.
- Ibnu katsir dalam tafsirnya yaitu Tafsir al-Qur'ân al-Adziim, Beliau mejelaskan bahwa perintah puasa ditunjukkan kepada orang-orang beriman, berpuasa adalah menahan diri dari makan, minum dan bersetubuh dengan niat semata-mata karena Allah SWT, karena apa yang dikandung di dalam puasa adalah penyucian dan pembersihan diri dari campuran akhlak yang buruk dan keji serta mempersempit jalan-jalan setan. Puasa pada pada permulaan datangnya islam hanya 3 hari seperti yang terjadi di masa Nabi Nuh sebelum diganti dengan 30 hari di masa Nabi Muhammad SAW.
- Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitab tafsirnya yaitu tafsir jalalain, beliau menjelaskan bahwa orang-orang beriman diwajibkan berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum mereka yaitu di antara umat manusia agar mereka menjadi orang bertaqwa maksudnya menjaga diri dari maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan itu .
- Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi dalam kitab Tafsir wa Khawathiru Al-Qur’an al-Karim mejelaskan bahwa puasa merupakan representasi dari ikatan iman seorang hamba kepada Allah. Artinya Allah tidak mewajibkan puasa kepada orang-orang yang tidak beriman, sebab mereka tidak memiliki interaksi keimanan dengan-Nya. Puasa sendiri bukanlah syariat baru yang diajarkan Nabi Muhammad. Sejak zaman dahulu sudah ada dalam semua agama samawi, dan menjadi salah satu kewajiban yang sifatnya ta’aabbudi (tidak bisa dinalar oleh akal, meskipun cara puasa antarumat yang satu dengan lainnya berbeda, seperti beda hari, beda cara puasa, dan beda jumlah hitungannya. Beliau menjelaskan maksud ketawaan dalam ayat tersebut adanya jalinan interaksi antara orang-orang yang beriman dengan sifat-sifat agung Allah, atau bisa juga diartikan mengikuti semua jalan yang ditentukan oleh-Nya dan menjauhi semua maksiat yang terlarang. Sebab, kemaksiatan pada hakikatnya muncul disebabkan jiwa-jiwa dan nafsu kotor yang selalu mengajak pada kejelekan.
- Prof. DR. Quraish Syihab, MA dalam tafsirnya al misbah, Beliau menjelaskan bahwa Kewajiban puasa itu sebagai upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan sebagai perwujudan kehendak Allah untuk melebihkan derajat manusia dari binatang yang tunduk hanya pada insting dan hawa nafsu. Puasa merupakan syariat yang juga telah diwajibkan atas umat terdahulu, maka janganlah orang islam merasa berat untuk melakukannya. Dengan puasa itu Allah bermaksud menanamkan jiwa ketakwaan, menguatkan daya inderawi dan mendidik jiwa manusia.
Dari penjelaskan lima ulama besar di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa:
Pertama: puasa adalah kewajiban yang harus dilakukan orang beriman dengan menahan diri segala hal yang dapat membatalkan puasa seperti tidak makan, minum dan berhubungan dimulai dari terbitnya fajar kedua atau waktu subuh sampai terbenamnya matahari.
Kedua: ibadah puasa juga pernah dilakukan oleh umat-umat terdahulu seperti nashoro, ahlul ahlul kitab, agama samawi yang mana cara puasa antar umat yang satu dengan lainnya berbeda, seperti beda hari, beda cara puasa, dan beda jumlah hitungannya.
Ketiga: Manfaat-manfaat puasa sangatlah banyak, diantaranya yaitu menanamkan jiwa ketaqwaan, dapat membersikan diri dari akhlak yang buruk dan keji, menghindarkan dari kemaksiatan-kemaksiatan, membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan dan menguatkan daya inderawi dan mendidik jiwa.
Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah SWT sehingga bisa menjalankan ibadah puasa dengan penuh kesadaran dan semoga ibadah puasa yang kita lakukan diterima oleh-Nya. Aamiin ya robbal alamin.
oleh : M. Munawar Said, M.Pd
(Dosen IAIN Salatiga dan Pengasuh Pesantren Online Tashfiyatul Qulub)
Editor : Muhammad Andi Setiawan