SALATIGA,iNewsSalatiga.id - Terjebak dalam situasi yang tidak sehat merupakan salah satu ancaman dan masalah terbesar dalam sebuah hubungan. Idealnya, hubungan yang sehat seharusnya didasarkan pada dukungan, penghargaan, dan pertumbuhan bersama. Namun, acapkali konflik tidak terhindarkan dalam sebuah hubungan, dan yang perlu diwaspadai adalah ketika hubungan tersebut menjadi toxic.
Hubungan toxic bisa menjadi perangkap yang sulit dikenali, terutama ketika seseorang terlalu terlibat secara emosional atau terlalu fokus pada kebutuhan dan keinginannya sendiri. Ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam hubungan, di mana satu pihak mungkin mengambil lebih banyak atau menjadi lebih dominan dari yang memberikan, atau satu pihak merasa terjebak dalam siklus negatif.
Dikutip dari Healthline, banyak hubungan tak sehat yang diawali dengan love-bombing atau tindakan menghujani seseorang dengan cinta berlebihan. Korban yang mengalami love-bombing dan trauma bonding kemudian akan selalu mengingat kebaikan pelaku setiap kali pelaku melakukan kekerasan. Korban biasanya akan meyakini bahwa pelaku bisa kembali menjadi sosok yang manis seperti di awal.
Salah satu contohnya seperti, berhubungan dengan seseorang yang mempunyai sikap manipulatif, terkadang seseorang itu dapat bersifat manis dan perilakunya sangat baik sehingga membuat seseorang yang berada dalam hubungan toxic ini merasa dirinya special. Namun, dilain hari tanpa sebab sikapnya menjadi cuek, dingin, bahkan kehadiranmu terkadang tidak dianggap sama sekali. Seseorang yang berada dalam fase ini tidak pernah merasa atau lupa bahwa dirinya pernah melakukan sifat-sifat manis ke pihak tersebut. Sikap tersebut akan membuat seseorang yang terjebak dalam hubungan toxic bertanya-tanya, "apakah sikapku selama ini ada yang salah? Atau aku kurang untuk dia?" Dampak ini menimbulkan rasa insecure dalam diri seseorang dikarenakan dampak dari sikap manipulatif tersebut. Padahal seseorang dalam hubungan toxic ini sudah sadar bahwa saatnya untuk dia run dari hubungan beracun ini.
Hal ini disebut dengan trauma bonding yang mana ini adalah hasil dari abuse yang dilakukan berkali-kali dan secara terus menerus, inilah kenapa orang-orang sulit untuk meninggalkan hubungan yang toxic karena seolah-olah orang yang bisa menyembuhkan rasa sakit ini adalah orang yang menimbulkan rasa sakit itu. Yang menjadi pertanyaan Kenapa sih orang-orang sulit banget untuk keluar dari hubungan ini? Karena trauma bonding ini menimbulkan adiksi, jadi membuat seseorang yang terjebak dalam hubungan toxic kehilangan akal sehatnya because it has something to do with your hormones.
Dilansir VeryWell Mind, trauma bonding adalah keterikatan yang dirasakan oleh korban kekerasan terhadap pelaku kekerasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam hubungan yang memiliki pola kekerasan yang berputar atau berulang. Istilah trauma bonding pertama kali diperkenalkan oleh terapis bernama Patrick Carnes, Ph.D, CAS pada 1997 lalu. Bond atau ikatan tersebut terbentuk akibat siklus kekerasan dan perilaku manis dalam hubungan. Jadi, usai pelaku melakukan kekerasan terhadap korban, ia akan memanipulasi korban dengan menunjukkan sikap penyesalan. Namun, setelahnya, pelaku akan kembali melakukan kekerasan dan mengulang pola yang sama. Pada akhirnya, pola ini bisa membingungkan korban dan membuat mereka bergantung pada pelaku.
Penting untuk mengenali tanda-tanda hubungan toxic, seperti kontrol berlebihan, manipulasi emosional, atau penyalahgunaan fisik atau verbal. Komunikasi terbuka dan jujur serta batasan yang jelas dapat membantu mengurangi risiko terjerumus dalam hubungan toxic. Dalam situasi hubungan yang sulit, terapi atau konseling dapat menjadi pilihan untuk membantu pasangan menavigasi masalah mereka dengan cara yang sehat dan produktif. Tetapi, pada akhirnya, jika hubungan tidak lagi membawa kebahagiaan dan pertumbuhan bersama, mungkin lebih baik untuk mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan tersebut demi kesejahteraan masing-masing individu dan yang perlu digaris bawahi adalah Stop wasting your energy for people who doesn't return it kebahagiaan diri kita adalah kita yang menentukan bukan orang lain.
Oleh : Salma Al Zahraa, S. H & Novita Yuni Rahmawati, S. Psi
Editor : Muhammad Andi Setiawan