BOJONEGORO,iNews.id - Saksi bisu perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda sampai saat ini masih beberapa yang eksis. seperti jembatan Kalitekek Bojonegoro yang menjadi salah satu akses penghubung di masa lalu antara Tuban yang merupakan daerah pelabuhan dengan daerah-daerah di selatan yang masih berupa hutan belantara.
Aksesnya yang membelah Sungai Bengawan Solo menjadikan Belanda memikirkan cara bagaimana memobilisasi kekayaan alam dari Bojonegoro dan sekitarnya ke pelabuhan di Tuban.
Pemerhati sejarah Bojonegoro Djony susanto mengungkapkan, berdasarkan catatan sejarah yang ada Jembatan Kaliketek itu dibangun selama tiga tahun pada 1916 hingga 1919. Selama masa pendudukan Belanda di Indonesia, Jembatan Kaliketek menjadi akses penting penghubung antara daerah pelabuhan di Tuban, Rembang, dengan daerah-daerah di selatan Bojonegoro yang memiliki kekayaan alam.
"Kemudian ketika Jepang masuk Bojonegoro dirusak sendiri oleh Belanda, dengan tujuan agar Jepang tidak bisa leluasa masuk Bojonegoro. Belanda mencoba merusak jembatan sisi selatan, itu ada bagian jembatan yang berbeda," ucap Djony, kepada MPI, Selasa (17/5/2022).
Nama Kaliketek sendiri diambil dari sebuah nama sungai kecil sesuai peta era masa kolonial Belanda. Sungai ini bermuara ke Sungai Bengawan Solo dan berada di timur Jembatan Kaliketek yang ada saat ini.
Di masa kependudukan Jepang, Jembatan Kaliketek yang dibangun oleh Belanda menjadi akses lalu lintas penting. Bahkan demi menjaga keamanan sekitar area Sungai Bengawan Solo, Jepang membangun semacam benteng kecil di kiri dan kanan jalan Jembatan Kaliketek.
"Jembatan ini jadi akses strategis, pihak Jepang membangun benteng di sisi kiri dan kanan Jembatan Kaliketek, benteng kecil untuk mengawasi baik lalu lintas di Bengawan atau aktivitas di utara Bengawan Solo," katanya.
Seusai hari proklamasi kemerdekaan, Jembatan Kaliketek juga menjadi saksi bagaimana perjuangan pasukan yang digalang Lettu Suyitno dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP). Bahkan jembatan itu pernah dirusak oleh para pejuang yang mempertahankan kemerdekaan.
"Saat agresi militer kedua laskar-laskar pejuang Bojonegoro itu di tanggal 24 Desember 1948 merobohkan atau merusak Jembatan di sisi selatan yang sebelumnya pernah dirusak Belanda sehingga serdadu Belanda nggak bisa lewat jembatan," terangnya.
Namun Belanda disebut Ngastasio tak kekurangan akal. Mereka akhirnya memilih menyeberangi Sungai Bengawan Solo dari sisi timurnya tepat di wilayah antara Simo, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, dengan Bojonegoro, yang kini terdapat Jembatan Glendeng.
"Akhirnya serdadu-serdadu Belanda lewat jalur Simo di Glendeng nyeberang melalui perahu karet. Tahun 50 - 70 rekonstruksi jembatan dilakukan, dan jadi salah satu destinasi anak-anak muda mungkin sebagai rekreasi atau lihat pemandangan Sungai Bengawan Solo," terangnya.
Tak hanya sisi sejarahnya saja yang menarik diulas, sisi gaibnya menjadi hal kuat yang kerap terjadi di jembatan tersebut. Jembatan Kaliketek Bojonegoro ini memang beberapa kali menjadi lokasi favorit percobaan bunuh diri. Diduga kuat residu energi sejarah di masa lalu dan adanya makhluk tak kasat mata yang kerap menghuni jembatan jadi penyebabnya.
"Di atas jembatan seperti kayak jin wujudnya binatang bermain di atas jembatan. Sungainya lebih banyak aktivitas bangsa jin dari jembatan yang sebelah timur, terus ada sudut sebelah barat di dekat sirkuit dulu," katanya.
Residu kuat juga terasa di sisi utara bagian barat, tepat di bekas lokasi yang pernah digunakan sebagai sirkuit motorcross yang kini dimanfaatkan menjadi tempat pemakaman umum.
"Aktivitas bangsa jin, di bawah jembatan peristiwa masa lampau, bumi mengandung suatu energi. Ketika beraktivitas diserap oleh bumi sehingga timbul energi metafisik," pungkasnya.
Editor : Muhammad Andi Setiawan