Tuduhan dan Kegaduhan Cacat Logika
Di tengah perkembangan teknologi informasi yang pesat, sikap tabayyun Umat Islam Indonesia kembali diuji dengan berseliwerannya kutipan berita media yang berisi tuduhan “Menteri Agama Yaqut Choilil Coumas membandingkan suara azan dengan suara anjing” atau dalam redaksi lain “menyamakan suara anjing dengan azan”. Judul-judul bombastis yang dijadikan headlines berita media-media tersebut beredar masif dengan teks-teks tambahan yang berisi ujaran kebencian terhadap Menteri Agama. Laju kabar tidak bertanggung jawab tersebut dan kegaduhan yang ditimbulkannya semestinya bisa diminimalisir dengan mempraktekkan sikap tabayyun.
Sikap tabayyun adalah konsep dan teladan generik dalam doktrin agama Islam. Sikap yang terbangun dari kebiasaan mau menvalidasi setiap informasi yang diterima dan menahan diri sebelum memahami persoalan yang sebenarnya adalah formula yang diwariskan Rasulullah SAW kepada Umat Islam. Formula tersebut selalu relevan dengan zaman, terlebih di zaman dengan perkembangan teknologi informasi yang tidak ada preseden sebelumnya.
Judul-judul bombastis di atas tentu saja problematis dan tertolak sejak awal jika kita dengan seksama mendengar rekaman keterangan Menteri Agama saat menjelaskan aturan penggunaan pengeras suara rumah ibadah yang baru diedarkan beberapa hari lalu. Dalam rekaman tersebut berkali-kali Menteri Agama menyatakan bahwa tidak ada pelarangan masjid dan mushalla untuk menggunakan toa selama itu bagian dari syiar Islam. Yang diatur adalah volume atau tingkat kekerasan suara untuk menciptakan harmonisasi dalam kehidupan sehari-hari. Tujuan intinya adalah meningkatkan manfaat dan mengurangi mafsadat. Sebagai umat mayoritas yang memiliki rumah ibadah nyaris di semua tempat tentu akan menjadi teladan bagi umat lain ketika Umat Islam senantiasa menampilkan kegiatan ibadah yang penuh ketentraman.
Ketika Menteri Agama menanyakan dan memberi perumpamaan kepada audien di depannya tentang gangguan kehidupan di komplek dengan tetangga yang memelihara anjing, penulis berita yang mendengar perumpamaan tersebut langsung melakukan framing bahwa Menteri Agama membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing, atau dalam berita-berita yang disebar setelahnya juga ada redaksi yang menyatakan Menteri Agama menyamakan azan dengan suara anjing. Nauzubillah.
Ada kecacatan logika yang mengemuka dalam tuduhan dan klaim keji tersebut. Pertama, apapun judulnya apakah itu menggunakan kata “perbandingan” atau “persamaan”, maka objek yang dibandingkan atau disamakan membutuh objek lain yang seimbang. Dalam istilah Bahasa Inggris biasa disebut apple to apple. Tentu saja tidak ada celah apapun untuk perbandingan yang setara antara azan dan suara anjing.
Tidak juga dalam kalimat-kalimat yang diutarakan Menteri Agama saat kita mendengar rekamannya dengan seksama. Menteri Agama diminta memberikan keterangan tentang menertibkan dan mengatur volume suara azan demi menambah manfaat bagi tata laksana ibadah. Sementara suara anjing dan volumenya tentu saja tidak bisa diatur oleh satu edaran pun. Itu ada dalam konteks ketika beliau berbicara perumpamaan kehidupan dalam sebuah komplek.
Dari tidak seimbangnya objek yang dituduh dibandingkan atau disamakan saja sudah terlihat ada sesat pikir (logical fallacy) dari mereka yang mencoba mengambil keuntungan atas kegaduhan dan sikap reaksioner yang sudah bisa diprediksi muncul dengan framing tersebut.
Toa dan Aturan Pengeras Suara
Seperti media dan perangkat media sosial yang awam dipakai saat ini, toa adalah inovasi baru yang datang bersama perkembangan teknologi. Toa dan perangkat pengeras suara lainnya tidak ada pada zaman Nabi Muhammad SAW. Keberadaan pengeras suara tentu saja sangat membantu pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang memerlukan keterlibatan banyak individu pada saat bersamaan termasuk dalam praktik ibadah.
Penggunaannya yang baharu tentu saja selaras dengan perkembangan zaman. Pada saat penduduk masih sedikit dan jarak antara satu rumah dengan rumah lainnya masih berjauhan keberadaan pengeras suara sangat diperlukan untuk memberi penanda datangnya waktu shalat, mengumandangkan syiar dan manfaat-manfaat lain bagi umat.
Dengan pertumbuhan penduduk yang pesat dan bertambahnya rumah-rumah ibadah yang makin berdekatan satu sama lain, di beberapa tempat diperlukan penyesuaian-penyesuaian dalam penggunaan pengeras suara. Seperti disampaikan berulang-ulang oleh Menteri Agama, tidak ada upaya dari pemerintah untuk melarang Umat Islam menggunakan toa dalam rumah ibadah. Yang diatur adalah ketinggian volume suara sehingga jalannya ibadah menjadi lebih khidmat dan bermanfaat bagi sekelilingnya.
Aturan-aturan tentang ketertiban penggunaan pengeras suara sudah beberapa kali diterbitkan sejak berdirinya republik ini. Pada tahun 1978 misalnya sudah ada Instruksi Dirjen Binmas Islam Nomor: KEP/d/101/1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara Di Masjid, Langgar dan Mushalla. Aturan tersebut juga dijadikan dasar Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Surat Nomor: B.3940/DJ.III/HK.00.07/2018 yang juga mengatur soal penggunaan pengeras suara. Sehingga aturan yang baru dikeluarkan Menteri Agama Yaqut Choilil Coumas bukanlah tanpa pijakan dan pertimbangan yang menjadi legacy dari sesepuh-sesepuh di Kemenag sebelumnya.
Di Dunia Islam yang lebih luas, aturan-aturan tentang ketertiban dan penggunaan pengeras suara di rumah ibadah tidak hanya dilembarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa negara berpenduduk mayoritas muslim juga lebih awal serta konsisten menerapkan aturan tersebut, bahkan dengan sanksi yang lebih keras. Arab Saudi misalnya, hanya mengizinkan penggunaan speaker dalam mesjid untuk azan, Shalat Jumat, Shalat Eid, dan Shalat Istisqa (minta hujan).
Negara tetangga kita, Malaysia, hanya membolehkan penggunaan toa untuk azan saja. Tilawah sebelum azan maupun zikir setelah shalat tidak boleh dikumandangkan melalui pengeras suara. Di Mesir juga ada larangan menghidupkan pengeras suara selama Bulan Ramadan dengan tujuan ibadah lebih tenang. Sementara di India penggunaan pengeras suara di rumah ibadah, termasuk masjid, dilarang dan akan dikenakan sanksi oleh negara.
Beberapa contoh tersebut semakin menunjukkan bahwa penggunaan pengeras suara adalah bukan esensi ibadah melainkan sebuah inovasi yang berkembang seiring teknologi zaman sehingga selalu terbuka untuk diberlakukan regulasi yang tentu saja bertujuan, meminjam kata-kata yang diartikulasikan oleh Menteri Agama, untuk menambah manfaat dan mengurangi mafsadat.
Nasehat dan Tabayyun Sebagai Perisai Umat
Islam adalah agama nasehat dan pemberi rahmat bagi sekalian alam. Hal tersebut hendaknya selalu ditanamkan dalam benak Umat Islam dimana pun mereka berada. Untuk menutup risalah singkat ini, penting kiranya sekali lagi kita saling mengingatkan pentingnya selalu mempraktekkan tabayyun setiap menerima informasi dari pihak manapun. Di zaman teknologi informasi yang makin pesat ini, selalu ada pihak-pihak yang mencari manfaat ekonomi dan manfaat kekuasaan dari kegaduhan-kegaduhan yang timbul dari berita-berita tidak bertanggungjawab.
Banyak media berbasis digital dewasa ini menggantungkan pengaruh dan mata rantai finansialnya dari click bait, dimana semakin banyak orang mengakses dan membagikan satu link berita maka akan semakin tinggi rating penyedia platform tersebut. Hal tersebut membuat sebagian orang meninggalkan etika bermedia dan tugas mulia seorang pewarta demi mengejar keuntungan dari iklan. Menutup mata atas kontroversi yang muncul dari framing media telah memberikan mafsadat tidak hanya bagi pribadi seorang menteri tetapi juga bagi imej Umat Islam di mata dunia.
Wallahu’alam bissawab.
Oleh : Prof. Dr. Mujiburrahman, M.Ag
Guru Besar UIN Ar-Raniry, Banda Aceh dan Peneliti Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh
Editor : Muhammad Andi Setiawan