SALATIGA, iNewsSalatiga.id - Pembatalan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 menimbulkan pertanyaan pada pihak FIFA. Dugaan standar ganda FIFA pun tidak terelakkan. Parahnya, meskipun sudah dipertahankan oleh FIFA, tentara Israel malah menembakan gas air mata di final Piala Liga Palestina, di Stadion Internasional Faissal Al Husseini, Palestina pada Jumat kemarin (31/3/2023). Tidak hanya itu, kekejaman Israel terhadap sepak bola Palestina ternyata sudah dimulai dari beberapa tahun silam.
Serangan gas air mata Israel di stadion Palestina Jumat kemarin (31/3/2023). (sumber: Okezone)
Pada November 2006, militer Israel pernah mencegah semua atlet sepak bola Palestina berpartisipasi dalam pertandingan final babak penyisihan grup kualifikasi Asian Football Confederation (AFC). Pada 2007, Israel juga pernah memboikot para pemain dan ofisial tim Palestina berpartisipasi dalam pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2010 melawan Singapura. Aksi Israel itu telah merusak kesempatan Timnas Palestina bermain di ajang Piala Dunia.
Wakil Prisiden Liga Parlemen Dunia, Fadli Zon pun merasakan kejanggalan terhadap aksi yang diberikan FIFA setelahnya.
"Celakanya, alih-alih membela atlet Palestina dan mengutuk Israel, FIFA malah memutuskan untuk memberikan kemenangan otomatis kepada Singapura 3-0. Padahal kita tahu dalam pertemuan terakhir kualifikasi Piala Dunia 2022 lalu, timnas Palestina bisa menekuk Singapura dengan keunggulan telak 4-0," kata Fadli Zon untuk Palestina ini.
Fadli Zon angkat suara terhadap standar ganda yang dilakukan FIFA. (sumber: Sindonews)
Stadion Palestina yang bearada di Gaza juga sering dibom selama perang. Oleh karenanya, bertahun-tahun timnas Palestina hanya bisa menggelar pertandingan kandang di Yordania atau Qatar. Kamp latihan mereka juga jauh di Ismailia, Mesir. Fadli Zon mengungkapkan, serangan mematikan tentara Israel tidak hanya mengarah pada fasilitas olahraga, tapi juga atlet-atlet Palestina.
Tiga pesepakbola Palestina, Ayman Alkurd, Shadi Sbakhe, serta Wajeh Moshtaha, tewas oleh serangan Israel di Jalur Gaza pada Januari 2009. Dua bulan setelahnya, Saji Darwish, pemain muda berusia 18 tahun, dibunuh oleh penembak jitu Israel di dekat Ramallah.
"Pada Juli 2009, Mahmoud Sarsak, pemain timnas Palestina, ditangkap dan disiksa oleh militer Israel selama tiga tahun. Meskipun akhirnya dibebaskan, tapi masalah kesehatan permanen akibat penyiksaan yang dideritanya selama dalam tahanan Israel telah mematikan karir olahraganya," paparnya.
Penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan terhadap pemain bola Palestina telah menjadi berita rutinan di Palestina. Tentara Israel dengan sengaja menembak kaki para pemain muda Palestina dalam berbagai kesempatan, terutama ketika mereka melintasi pos pemeriksaan militer.
Pada tahun 2019, tentara Israel menyerang Stadion Al Khader di Betlehem dengan gas air mata, yang mirip dengan tragedi Stadion Internasional Faissal Al Husseini kemarin. Tentara Israel telah menembak mati Ahmad Atef Daraghma, pemain bola dari klub Thaqafi, serta melukai 24 orang lainnya, dalam sebuah serangan dan aksi brutal di kota Nablus, Tepi Barat pada 22 Desember 2022 lalu.
Jadi, menurut Fadli Zon, sangat tidak relevan jika FIFA membela atlet Israel dengan alasan fair play. Seharusnya para atlet Israel ditagih pertanggungjawaban moralnya atas aksi brutal dan tidak adil yang dilakukan oleh pemerintah mereka terhadap atlet dan dunia olahraga Palestina.
Timnas Israel. (sumber: Okezone)
"Dua alasan itu sudah cukup menunjukkan selama ini FIFA telah berlaku tidak fair dan menerapkan standar ganda dalam kebijakan sepak bola," katanya.
Fadli Zon mengakui pencabutan Indonesia dari status tuan rumah Piala Dunia U-20 2023 dalam jangka pendek merugikan dunia sepak bola di Tanah Air. Namun, dengan pencoretan ini, Indonesia tidak kehilangan martabat. Sebab, jika tetap menerima kedatangan atlet Israel, berarti Indonesia telah merendahkan konstitusi dan garis politik luar negeri di bawah aturan FIFA.
Melihat sejarah, Indonesia sendiri adalah negara pertama di dunia yang pernah memboikot keikutsertaan Israel dalam ajang olahraga. Sebagai tuan rumah Asian Games IV 1962, Indonesia juga menolak kedatangan delegasi Israel. Meski, konsekuensi dari keputusan itu adalah Indonesia akhirnya diskorsing dari International Olympic Committee (IOC), tapi setelahnya Presiden Soekarno justru mendapat dukungan resmi dari Asian Games Federation (AGF).
"Menjelang Asian Games 1978 di Bangkok, AGF secara resmi memberi sanksi dan memboikot delegasi Israel dengan alasan keamanan," ungkapnya.
Fadli Zon mengatakan, AGF lebih jauh bahkan mengeluarkan Israel dari Olympic Council of Asia (OCA) yakni tahun 1981. Lalu, pada 1983, giliran International Amateur Athletic Federation (IAAF) mendukung pengeluaran Israel dari Asian Games.
"Sehingga, jika hari ini kita malah membuka diri terhadap kontingen Israel, itu sebuah kemunduran besar," ujar Fadli Zon.
Israel telah menjadikan olahraga, terutama sepak bola, sebagai alat diplomatik untuk menyukseskan praktik diskriminasi, pelanggaran HAM, dan kejahatan perang mereka terhadap rakyat Palestina. Fadli Zon menjelaskan, sejak berdiri pada tahun 1948, Israel telah melakukan perampasan tanah besar-besaran dan kejam terhadap Palestina.
Di tahun 2022, Amnesty International menyampaikan bahwa pihak berwenang Israel harus dimintai pertanggungjawaban karena kejahatan apartheid terhadap Palestina. Penyelidikan Amnesty International telah merinci bagaimana Israel melakukan penindasan pada rakyat Palestina.
Dalam laporan dengan judul Israel’s Apartheid Against Palestinians: Cruel System of Domination and Crime Against Humanity (Apartheid Israel terhadap Palestina: Sistem Dominasi dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan yang Kejam), terdokumentasi lengkap bagaimana politik perampasan tanah dan properti secara besar-besaran, juga pembunuhan di luar hukum yang dilakukan pemerintah Israel terhadap rakyat Palestina.
"Atas temuan itu, Amnesty International telah menyerukan kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mempertimbangkan kejahatan apartheid ini dan menyerukan semua negara menjalankan yurisdiksi universal untuk membawa pelaku kejahatan apartheid ke pengadilan," jelasnya.
Fadli Zon juga mengatakan, bagi Indonesia izin masuk bagi para pemain bola Israel memang tidak serta merta mengenai olahraga saja, tapi juga prinsip. Karena FIFA tidak mendapat solusi lain yang bisa diterima, Indoneisa pun akhirnya kehilangan poisinya sebagai tuan rumah. Yang secara tidak langsung menunjukkan bahwa organisasi sepakbola ini masih belum lepas dari standar ganda.
"FIFA hanya membela kepentingan Israel, tapi mengabaikan posisi dan pendapat negara-negara lain mengenai negeri penjajah tersebut," tandasnya.
Mengesampingkan masalah politik, FIFA seharusnya juga bisa melihat bagaimana kekejaman Israel terhadap sepak bola Palestina yang jelas-jelas menjadi ranah FIFA. Tidak seperti Rusia dan Afrika Selatan yang diboikot FIFA karena kasus serupa, sampai sekarang belum ada sanksi yang diberikan FIFA terhadap Israel.
Editor : Muhammad Andi Setiawan