get app
inews
Aa Text
Read Next : Sarasehan Alumni Fakultas Syariah UIN Salatiga: Penguatan Peran Alumni Menuju Indonesia Emas 2045

Meninjau Ulang Regulasi Beban Kerja Guru

Kamis, 22 September 2022 | 18:03 WIB
header img
Muchammad Tholchah, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA), (Foto : Dok)

DALAM sebuah kesempatan bertatap muka dengan para praktisi pendidikan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan bahwa sertifikasi tidak berimplikasi terhadap peningkatan kualitas guru, bahkan hanya dijadikan prosedur untuk memperoleh tunjangan. Pernyataan tersebut seolah meragukan sertifikasi sebagai instrument valid untuk mengukur kualitas guru.

Hal tersebut juga menempatkan guru sebagai aktor antagonis: guru kita tidak berusaha meningkatkan kualitasnya setelah sertifikasi. Tampaknya tidaklah bijaksana menjadikan guru sebagai satu-satunya pihak yang perlu dikritisi, karena ada faktor lain yang turut berpengaruh dalam situasi ini yaitu tingginya beban kerja guru.

Regulasi versus realita

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, beban kerja guru mencakup kegiatan pokok berupa: merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing dan melatih peserta didik serta melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan kegiatan pokok sesuai dengan beban kerja guru.

Saat mengalami amandemen, menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2017, bab dan pasal mengenai beban kerja guru tidak mengalami perubahan signifikan. Kemudian, setiap kegiatan pokok dari beban kerja dijabarkan secara detail dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 15 Tahun 2018.

Memang, detailnya regulasi beban kerja guru tentu memiliki tujuan positif. Dari sisi pengendalian, mereka yang tertarik menjadi guru harus memahami bahwa menjadi guru bukan tugas mudah, sehingga jika merasa tidak mampu, perlu mempertimbangkan profesi lain. Regulasi berperan sebagai pengendali menyaring calon guru. Selain itu, regulasi juga sebagai jaminan kualitas kerja-kerja guru.

Dalam kenyataannya, beban kerja ini menjadi dilema bagi guru karena setiap kegiatan pokok merupakan tugas yang tidak ringan dan memberikan dampak administrasi yang besar. Apalagi jika guru memperoleh tugas tambahan, misalnya menjadi wakil kepala satuan pendidikan, ketua program keahlian, kepala perpustakaan, atau kepala laboratorium, maka tagihan administrasinya makin banyak lagi.

Satu contoh: tugas penilaian. Saat ini guru tidak hanya dituntut menilai hasil belajar peserta didik, namun juga proses pembelajaran. Selain itu, penilaian diarahkan pada aspek kognisi, sikap dan ketrampilan peserta didik dengan mengkombinasikan berbagai tehnik penilaian. Hasilnya diwujudkan dalam bentuk deskripsi kualitatif. Jelas, penilaian belajar saja merupakan tugas yang sangat kompleks bagi guru. Dapat dibayangkan betapa berat tanggungan guru untuk menyelesaikan seluruh beban kerjanya.

Dampak Beratnya Beban Kerja Guru

Dalam tataran implementasi, beratnya beban kerja ini tidak realistis sehingga memberi dampak serius yang mulai dirasakan guru kita. Pertama, tugas mendidik berjalan kurang efektif karena guru disibukkan dengan urusan administrasi. Berdasar regulasi, beban kerja guru dilaksanakan dalam waktu 24 sampai 40 jam dalam seminggu.

Faktanya guru hampir setiap hari bekerja lembur dan tugas tetap belum terselesaikan. Belum lagi pemenuhan regulasi kementerian lain, meskipun bukan tugas rutin, misalnya peraturan yang diterbitkan Kemen-PAN&RB tentang jabatan fungsional guru dan angka kreditnya. Energi guru sudah tidak tersisa. Kadang kelas sengaja dikosongkan dan peserta didik diberi tugas agar guru dapat mengerjakan administrasi.

Dampak lain, kualitas pekerjaan terabaikan. Idealnya, beban kerja dilaksanakan secara tuntas dan berkualitas dalam durasi yang ditentukan. Faktanya, beban terlalu berat untuk diselesaikan dalam waktu yang tersedia. Akibatnya, kualitas pekerjaan tidak diperhatikan karena yang penting pekerjaan selesai. Tidak ada waktu melakukan double check kualitas pekerjaan.

Selanjutnya, guru kita tidak memiliki kesempatan mengembangkan profesinya: tidak meng-update perkembangan mutakhir terkait pengetahuan, metode, maupun media pembelajaran pada mata pelajaran yang diampunya. Padahal, pengembangan profesi berpengaruh positif bagi guru maupun peserta didik. Hobson (2006) mengatakan bahwa dengan pengembangan profesi, guru mampu meninjau ulang bagaimana mereka menjalankan perannya serta mengidentifikasi pengetahuan dan ketrampilan yang perlu dipelajari guna mendukung efektifitas di masa yang akan datang.

Sedangkan Adalsteinsson, Frimannsdottir dan Konradsson (2014) meyakini bahwa jika kapasitasnya berkembang, tingkat kepercayaan diri guru meningkat signifikan baik di mata publik maupun dalam pengelolaan pembelajaran. Banyak juga yang berkesimpulan bahwa pengembangan profesi memungkinkan peserta didik meningkatkan output belajarnya (Angrist & Lavy, 2001; Bredeson dkk., 2012; Chu & Cravens, 2012; Darling-Hammond dkk., 2005; Desimone, 2009; Rockoff, 2004).

Berikutnya, guru zaman sekarang semakin terisolasi dari masyarakat. Dulu, guru adalah tokoh terdepan dalam kegiatan masyarakat: menjadi khatib sholat Jum’at, aktif kerja bhakti, mengisi masjil taklim, menjadi ketua RT atau sekedar bercengkerama santai dengan tetangga di serambi mushola.

Kini, guru tidak lagi terlibat dalam hal seperti itu karena disibukkan dengan administrasi, finger print, dan rapat-rapat. Tidak heran masyarakat menganggap guru sekarang materialistis karena lebih takut kehilangan uang lauk pauk dari pada bersosialisasi.

Terakhir, tekanan psikologis guru meningkat drastis. Diakui atau tidak, guru rentan menjadi obyek intimidasi struktural. Gubernur atau walikota/bupati menginstruksikan kepala dinas agar pendidikan di daerahnya berkualitas. Selanjutnya, kepala dinas mengharuskan pengawas sekolah bekerja keras memberikan supervisi agar pendidikan di wilayah bimbingannya maju sesuai arahan pimpinan daerah.

Pengawas sekolah meneruskan himbauan kepala dinas pendidikan kepada kepala sekolah. Ending-nya, kepala sekolah akan menuntut guru untuk menyelesaikan”pesanan” tersebut. Guru kemudian menekan siapa? tidak ada lagi yang dapat ditekan karena mereka ”korban” terakhir.

Survei yang dilakukan oleh Glazzard (2018) dari Universitas Leeds Beckett menemukan bahwa sebagian besar guru mengalami masalah kesehatan mental disebabkan volume pekerjaan yang terlalu berat. Akibatnya, kualitas rencana pembelajaran dan implementasi di kelas menjadi buruk dan performa peserta didik menurun drastis.

Memang tidak semua guru mengalami dampak di atas, namun akar persoalannya sangat jelas, yaitu tingginya beban kerja guru.

Langkah strategis

Guna menekan implikasi tingginya beban kerja guru, pemerintah selaku pemegang otoritas harus meninjau kembali regulasi terkait beban kerja guru kita. Konkretnya, perlu penyederhanaan tugas dan beban kerja guru. Regulasi memang disusun seideal mungkin, namun harus dapat dijadikan sebagai panduan praktis yang mempermudah guru melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya secara efektif dan efisien.

Selain penyederhanaan isi regulasi, perlu adanya integrasi dan sinergi antar lembaga dalam menerbitkan regulasi. Kementerian Pendidikan mengeluarkan regulasi terkait guru, Kementerian PAN&RB juga mengeluarkan regulasi karena guru adalah bagian dari birokrasi. Bahkan guru madrasah, juga harus mematuhi regulasi yang diterbitkan Kementerian Agama, selain regulasi dua kementerian tersebut. Karenanya, lembaga negara perlu duduk bersama guna menghasilkan satu regulasi yang komprehensif, tanpa harus setiap lembaga negara menerbitkan regulasi masing-masing dengan sasaran sama, yaitu guru.

Jadi, alangkah baiknya kita tidak hanya menuntut guru untuk menunjukkan kualitas mereka. Pada saat yang sama, kita perlu menyediakan regulasi yang memungkinkan guru menunaikan tugasnya dengan hati dan pikiran yang nyaman.

REFERENSI

 

Adalsteinsson I. A., Frimannsdottir I. B., dan Konradsson S., (2014). Teachers’ self-esteem and self-efficacy. Scandinavian Journal of Educational Research, Vol. 58, No. 5, 540–550.

Angrist, J.D. & Lavy, V. (2001). Does Teacher Training Affect Pupil Learning? Evidence from Matched Comparisons in Jerusalem Public Schools. Journal of Labor Economics, Volume 19 Issue 2, h. 343 – 369.

Bredeson, P. dkk (2012). Successful schools across North America: meeting challenges and extending opportunities in Canada and the United States. Day, C. (Ed.) The Routledge international handbook of teacher and school development, Abingdon, UK: Routledge, h. 427-436.

Chu, H. dan Cravens, X. C. (2012). Principal Professional Development in China: Challenges, Opportunities, and Strategies. Peabody Journal of Education, Vol. 87 No. 2, h. 178-199.

Darling-Hammond, L. dkk. (2005). Does teacher preparation matter? Evidence about teacher certification, Teach for America, and teacher effectiveness. Education Policy Analysis Archives, Volume 13 No. 42, h. 16 – 17.

Desimone, L. M. (2009). Improving impact studies of teachers’ professional development: toward better conceptualizations and measures. Educational Researcher, 38 (3), h. 181- 199.

Glazzard, J. (2018). Teachers’ mental health and pupils’ performance, Leeds: School of Education Leeds Beckett University. 

Hobson, A.J., dkk. (2006). Becoming a Teacher: Student Teachers Experiences of Initial Teacher Training in England, Research Report No. 744, University of Nottingham: Social Research Institute.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru juncto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2017.

Rockoff, J.E. (2004). The Impact of Individual Teachers on Student Achievement: Evidence from Panel Data. AEA Papers and Proceedings, May 2004.

Oleh : Muchammad Tholchah

Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA)

 

 

 

Editor : Muhammad Andi Setiawan

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut